Berbicara, Menulis, Mengkritisi

Berita

Blog ini berisi kumpulan informasi berupa berita (straight news), feature, artikel, foto,sastra

Feature

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature,foto, sastra

Artikel

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature, artikel,foto, sastra

Foto

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature,artikel, foto, sastra

Sastra

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature,artikel,foto, sastra

Kamis, 19 Mei 2016

Kaum Minoritas yang Berbicara Menyoal Hak

Kaum LGBT
Di dunia ini akan banyak jenis populasi manusia yang nantinya akan mengisi sisi mayoritas dan minoritas. Sejatinya, manusia hidup atas pilihan dan kemauan yang didasari dalam Hak Azazi Manusia (HAM), bukan menyoal agama ataupun hukum, itu terlalu pelik. Banyak hal yang awalnya tabu, namun menjadi jelas terlihat karena dia atau mereka ada.

Saat ini, kaum minoritas yang tersohor dalam perbincangan publik adalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Mereka ada namun disangkal,karena ada beberapa sisi yang dinilai masyarakat umum salah. Saya tidak mengamini, tidak pula menolak keberadaan mereka. Hal yang bahas di sini hanya menyoal hak dan keberadaan mereka.

LGBT adalah mereka yang memiliki perbedaan dari manusia lain menyoal orientasi sex, lain dari pada itu mereka sama, manusia yang memiliki Tuhan, akal, dan sosial. Pada penjabarannya, LGBT memiliki beberapa hal yang berbeda yaitu dari segi orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan seks.

Ekspresi gender di sini maksudnya adalah ekspresi mereka sesuai dengan pengakuan individu itu sendiri, baik maskulin ataupun feminim. Seks lebih mengarah kepada jenis kelamin, Orientasi Seksual lebih kepada keinginan, dan identitas gender lebih menyoroti kepada posisi diri. Itu beberapa perbedaan yang dimiliki oleh kaum LGBT.

Lalu apa yang persoalkan? Saya pikir, hal yang persoalkan lebih kepada persoalan hukum dan pertentangannya kepada soal Agama. Jelas, dari segi agama apapun akan menyalahi, karena berhubungan seks sesama makhluk heterogen pun sudah merupakan perbuatan dosa,apalagi homogen. Dari segi hukum, mungkin akan lebih membahas mengenai bagaimana status hukum salah satu mereka.

Namun, kaum LGBT bukan berbicara mengenai status hukum atau agama, mereka ingin keberadaan mereka diakui di mana mereka berada. Ini menyoal Hak Azazi Manusia, kan manusia memiliki hak masing-masing, mulai hak untuk hidup, hak untuk berpendapat, dan lain sebagainya.

Merujuk pada nilai keberagaman, kaum LGBT sejatinya hanya ingin memperlihatkan bahwa keanekaragaman itu bukan hanya bagian budaya, namun orientasi dari seksual (maaf jika agak porno) yang berbeda. Mereka bukan berniat mengganggu, tapi hanya ingin keberadaan mereka tidak ditindak diskriminasi atau adanya pandangan negatif.

LGBT sejatinya hanya pembicaraan menyoal kebebasan seksual,permasalahan orientasi seksual. Karena setiap manusia jelas mempunyai karakter yang berbeda satu sama lain, apalagi permasalah seks, tidak ada manusia yang bisa mengetahui, kecuali manusia itu sendiri.

Keberadaan kaum LGBT hanya satu di antara kaum minoritas lainnya, apapun yang sedang diperdebatkan saat ini masih dalam lingkup kecil, belum menyampai aspek yang luas secara. Dewasa ini, masyarakat dituntut untuk bijak dalam melalui perkembangan zaman yang tidak melulu menyangkut soal teknologi, tapi juga keberagaman.
Share:

Bandung, Kota Kembang atau Kota Sampah?



Sampah di Kota Bandung
Bandung Kota Kembang rasanya sudah tak asing lagi ditelinga kita sebagai julukan dari kota Bandung. Bayangan dikepala adalah Bandung dari seluruh Kota yang eksotis dan sangat menarik untuk dipandang. Namun, bagaimana kenyataannya ? Bandung tampaknya kini tidak lagi memegang konsistensinya sebagai kota Kembang yang memiliki pesona menarik untuk para wisatawan. Kini Bandung tak seindah lagi julukannya, diberbagai penjuru sudut kota tumpukan sampah yang tak enak dipandang menggantikan posisi eksotisme kota Kembang ini.

Percaya atau tidak namun itulah yang terjadi pada Kota Kembang nan tercinta ini. Bandung, masihkan kota Kembang? Mungkin jawaban yang baik, Tidak. Julukan hanya tinggal julukan yang lama-lama memburam dan hilang dari masyarakatnya. Problema ini mungkin tanpa disadari oleh seluruh elemen masyarakat hadir karena tingkah dan perilaku sendiri. Problemanya itu adalah Sampah.

Mungkin memang sepele namanya, namun problema yang dihadapi sungguh mengancam kehidupan tiap individu. Bandung kini sudah tidak tepat lagi layaknya disebut “Kota Kembang” tapi “Kota Sampah”. Kini, Tumpukkan sampah tidak hanya terdapat dikawasan pinggiran saja, namun juga dipusat kota juga terdapat banyak sekali tumpukkan sampah.

Entah apa yang terjadi di Kota nan indah ini, kesadaran masyarakat akan membuang sampah tampaknya sudah sangat berkurang. Sampah masih berserakan, rumah-rumah para gelandangan dipinggir atau dipusat kota makin menjadi, dan pembangunan tata kota masih berlanjut, apa mau pemerintah? Kenapa tidak bisa melihat problema dari yang lebih kecil dulu. Kalau pemerintah seperti ini, masyarakat sangat semakin kurang akan hal yang kecilnya.

Seharusnya masalah sampah tidak menjadi masalah terbesar dikota atau dimanapun. Bandung kini menjadi salah satu kota yang banyak sampah. Disetiap titik kota ataupun pinggiran dijadikan tempat tumpukkan sampah. Hal tersebut bukan menjadi problema yang sepele, tapi menjadi problema yang besar bagi masyarakat dan tugas baru untuk para pejabat kota khususnya.
      

Problema tersebut tidak hanya dari selokan yang mapet, tidak hanya dari bau yang menyengat, tapi banjir yang bisa membuat kota menjadi tampak kotor dan menjijikan. Percuma saja rasanya jika pemerintah mengadakan pembangunan tata kota yang didesain dengan sangat mewah dan elite, namun dikawasan lainnya tumpukkan sampah semakin merajalela dan tidak menarik dilihat.

Beberapa kawasan di kota Bandung yang sering menjadi objek tumpukkan sampah yaitu daerah Gede Bage, Ujung Berung, menuju pusat kota alun-alun, dan banyak lainnya yang bisa diliat tumpukkan sampah. Tidak hanya itu, tempat-tempat tersebut juga menjadi langganan banjir. Inilah tugas pemerintah seharusnya, bukan hanya membangun wisata kota atau hal lainnya dipusat kota, tapi harus membangun kota dulu dari hal-hal yang terkecil, mulai dari sampah.

Kembali lagi, memang kata yang sepele “sampah” namun dampaknya sungguh luar biasa. Sudah selayaknya seluruh masyarakat Bandung mengembalikan julukan kota Bandung menjadi “Kota Kembang” yang sejati tidak hanya sekedar julukan tapi nyata dengan hasilnya, benar-benar kota Kembang yang indah dan enak dipandang.

Sudah selayaknya pemerintah menganyomi dan mengajak para masyarakatnya untuk kembali menyadarkan akan bahaya nya membuang sampah disembarang tempat. Tidak hanya lingkungan saja yang kotor tapi, sungai dan kali-kali disekitaran wilayah juga ikut tercemar.

Untuk itu sangat perlu rasanya jika pemerintah mengadakan kembali sosialisasi mengenai sampah kepada masyarakat, jangan hanya menyiapkan fasilitas saja namun juga bertindak dalam praktiknya kepada masyarakat, agar bandung kembali ke julukan nya sebagai “Kota Kembang.”



Share:

Karnaval Yogyakarta

Karnaval tahunan di sekitaran Malioboro
Sejumlah penari mengisi rangkaian karnaval Yogyakarta, Maret lalu. Karnaval yang diadakan disepanjang Jalan Malioboro ini dilakukan setiap tahunnya dan diikuti hampir seluruh masyarakat Yogya dengan berbagai macam penampilan.


Share:

Perayaan Asia Afrika

KAA dihadiri Presiden Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo hadir dalam Perayaan Konferensi Asia-Afrika ke-62 di Kota Bandung, Jalan Asia April lalu. Joko Widodo tiba di Jalan Asia Afrika pada pukul 10.00 WIB dan jalan bersama rombongan dari depan Hotel Savoy Homan menuju Gedung Merdeka.

Share:

Monolog Teater

Monolog teater awal UIN Bandung
Teater Awal UIN Sunan Gunung Djati Bandung mengadakan aksi monolog dalam rangka memperingati Milad di Aula Lama UIN Bandung, Oktober lalu. Pementasan ini menceritakan tentang kehidupan seorang laki-laki pejuang.

Share:

Unjuk Rasa Petugas Kebersihan

Unjuk rasa petugas kebersihan di kampus UIN Bandung
Sejumlah petugas kebersihan melakukan aksi unjuk rasa mengelilingi Kampus Sunan Gunung Djati Bandung, Maret lalu. Aksi tersebut dilakukan menuntut kenaikan gaji kepada PT Dewi Mukti Selaras

Share:

Mahasiswa Patani, wujudkan Eksistensi melalui PMIPTI dan TUNAS

Milad Mahasiswa Patani
Mahasiswa Patani, mengadakan perayaan ke-42 tahun dari PMIPTI (Persatuan Mahasiswa Islam Patani (Selatan Thailand) di Indonesia) yang bertempat di aula lama UIN SGD Bandung. Perayaan yang sebenarnya jatuh pada 25 September lalu itu, baru bisa digelar secara besar dan terbuka untuk kali pertamanya oleh mahasiswa Patani pada Rabu lalu. Hal itu dikarenakan ada beberapa pertimbangan sebelum acara tersebut digelar.

Raut suka cita tampak dari panitia PMIPTI saat menyambut kunjungan dalam perayaan itu. Dengan wajah yang cerah dan senyum yang sumringah mereka menerima para tamu undangan. Seluruh mahasiswa patani yang ada di kota Bandung hari itu berkumpul di aula UIN Bandung dalam balutan suasana yang bahagia. Bertemakan “Melalui HUT PMIPTI kita kembangkan Generasi Progresif” MC membuka acara nan sakral namun sederhana tersebut.

PMIPTI adalah persatuan mahasiswa patani, Thailand Selatan yang berada di Indonesia, khususnya kota Bandung. PMIPTI berdiri pada 25 September 1972 yang awalnya hanya didirikan oleh 4 mahasiswa dari kampung melayu patani tersebut. Seiring dengan perkembangan waktu dan generasi, PMIPTI terus digerakkan sebagai wadah bagi mahasiswa patani yang masih minoritas di Indonesia untuk bernaung.

“Pembentukan Persatuan Mahasiswa Islam Patani (Selatan Indonesia) di Indonesia (PMIPTI) didasarkan dengan kemahasiswaan dan kemasyarakatan yang diisi untuk membina anggota PMIPTI,” ujar Amin Ngoh memulai perbincangan.

Seakan mengingat tanah airnya yang sampai saat ini masih dijajah oleh pemerintah Thailand, Amin Ngoh dengan semangat menceritakan bagaimana perkembangan PMIPTI ditengah mahasiswa patani dan juga mahasiswa Indonesia saat ini. Amin, mengatakan bahwa PMIPTI ada untuk mempersiapkan mahasiswa patani yang belajar di Indonesia berbakti kepada masyarakatnya di tanah air (patani) serta melahirkan generasi yang intelektual, islami dan juga berwawasan.

Amin, sebagai ketua umum dari PMIPTI  lebih lanjut mengatakan bahwa PMIPTI selalu berusaha untuk lebih kreatif dan inovatif lagi dalam berorganisasi. Seperti mengadakan diskusi dan kegiatan rutin lainnya.

“Kita di sini memang minoritas, tapi kita mau berkembang dan ada diantara mahasiswa dimana kita belajar, seperti di UIN Bandung ini. Jadi, semua bisa tahu dan PMIPTI bisa lebih maju dan berkembang,” ujar Amin, mahasiswa jurusan KPI semester 7 tersebut.

Tak hanya lewat PMIPTI mahasiswa patani juga menunjukkan keseriusan mereka dalam mengangkat eksistensinya di bidang yang lain. Yaitu TUNAS yang merupakan media mahasiswa patani. TUNAS  singkatan dari Tuntutan Nasional. Meskipun tidak begitu banyak mahasiswa patani yang kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik, tapi dengan tekad yang kuat mereka berusaha untuk membuat media itu terbit di dalam lingkungan mereka.

Junaidi bin Zakaria, Pemimpin Redaksi dari media TUNAS mengatakan bahwa butuh perjuangan bagi mahasiswa patani untuk bisa menggarap sebuah majalah tersebut. Meskipun belum diperjualkan ke pihak luar, namun majalah itu merupakan kebutuhan bagi pihak dalam (mahasiswa patani sendiri).
“TUNAS terbitnya dulu tidak jelas, ada satu kali dalam setahun, ada yang tiga bulan dalam satu kali. Sekarang perkembangan TUNAS dimulai dari tahun 2012, cukup lama vakum karena masih banyak ketidak mampuan kami di bidang jurnalistik,” ujarnya dengan cukup fasih menggunakan bahasa Indonesia saat ditemui Suaka disela-sela perayaan PMIPTI.

Lebih lanjut, Junaidi mengatakan bahwa TUNAS merupakan wadah bagi mahasiswa patani untuk mengetahui informasi dan juga berbagi informasi. Dalam proses pengolahan media patani ini, para anggota mengangkat berita yang sumbernya mengambil dari internet berita-berita yang berbahasa Thailand. Kemudian, berita tersebut diterjemahkan dan diedit oleh tim redaksi.

“ Kita masih dalam proses belajar. Untuk struktur di Media TUNAS sama dengan yang lain, ada pemred, reporter,dan lainnya. Maka dari itu sekarang kita mulai kembangkan TUNAS lagi dengan terbitan yang masih fokus pada masyarakat patani. Mulai dari sejarah, kehidupan ketika penjajahan yang sampai kini masih berlangsung dan berbagai macam aspek kehidupan di sana. Dalam proses pembuatan media kita terus belajar dari mana saja, termasuk internet,” ujar mahasiswa UNISBA tersebut.

Tak hanya mengungkapkan lewat pernyataan langsung, Junaidi pun memperlihatkan beberapa majalah dari TUNAS. Dari majalah yang ada, Junaidi mengatakan prosesnya pengumpulan datanya masih sama saja dan mereka terus memperbaiki isi dan tampilan majalah. Adapun hal yang menjadi kesulitan yaitu dipercetakkan majalah, karena terganjal biaya.

Meskipun begitu, baik Junaidi maupun Amin Ngoh, mahasiswa patani yang punya peran dalam PMIPTI dan TUNAS  ini memiliki harapan yang sama. Menggunakan dua wadah yang mereka naungi saat ini, mereka berharap keberadaan mahasiswa patani yang semakin berkembang ditengah-tengah mahasiswa di Indonesia bisa diakui dan dianggap ada.

“Melalui TUNAS dan kegiatan lain,kita belajar untuk terus berkembang dan maju. Suatu hari nanti saya ingin membuat TUNAS menjadi suatu lembaga pers yang lebih berkembang lagi, agar mahasiswa patani lebih berkarya lagi lewat media,” pungkas Junaidi, mahasiswa jurusan Hukum tersebut.


Share:

Tak Jalanan, Di Kampus pun Jadi

Anak Jalanan di dalam Kampus UIN BDG
Pernah melihat anak jalanan di kampus? Beberapa waktu yang lalu, keberadaan anak jalanan bukanlah hal asing bagi civitas akademika UIN SGD Bandung. Mereka tak sungkan mengamen, bahkan meminta uang di dalam atau di luar gedung perkuliahan.

Jika di lihat dari letak wilayah, UIN SGD Bandung memang strategis untuk anak jalanan mencari peruntungan. Selain merupakan pusat keramaian, UIN SGD Bandung bertempat di perbatasan kota yang masyarakatnya adalah masyarakat transisi. “ Teh, minta uang lima ribu untuk jajan,” begitulah salah satu contoh kata-kata yang terucap dari bibir mungil mereka. Tak tahu tempat, tak tahu malu, dan tak tahu akan kemana lagi, itulah kondisi yang dialami oleh para pemilik kaki-kaki mungil tersebut.

Satu dari sekian anak jalanan yang berhasil diwawancarai bernama Restu. Bocah yang pernah mengamen di kawasan UIN SGD Bandung tersebut mengatakan bahwa ia mengamen untuk jajan dan membantu kedua orangtuanya.“Ngamen pulang sekolah, pulang semaunya aja, asal dapat uang,” ujar Restu dengan wajah yang masih riang ketika malam sudah mulai larut di peraduannya, Rabu (20/03). Meskipun mengamen dari pagi hari hingga larut malam, Restu yang kini lebih banyak mengamen di angkot, tetap kelihatan bersemangat dengan botol kecil sebagai alat musiknya.

Bocah yang tinggal di daerah Gede Bage ini mengaku jarang belajar di rumah karena sudah terbiasa pulang larut malam, walaupun begitu bocah tersebut memiliki cita-cita yang tinggi yaitu ingin menjadi dokter. “Mau jadi dokter, kan sekolah nanti kalau udah besar jadi dokter aja biar dapat uang banyak,” ujar bocah yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar ini.

Bicara soal keberadaan anak jalanan di Kampus Hijau, Satuan Pengaman (Satpam, Red-) UIN SGD Bandung tak mau tinggal diam. Jika dulu anak jalanan dibiarkan keluar-masuk kampus dengan leluasa. Kini anak jalanan tak bisa memasuki kampus seenaknya, karena Satpam UIN SGD Bandung bertugas di setiap ruas jalan untuk menjaga keamanan dan ketertiban Kampus Hijau.

”Kalau anak jalanan ke sini itu sudah pasti tidak boleh, akan kami amankan karena sudah ada peraturannya. Lagian tidak etis jika anak jalanan ada di dalam  tempat akademis. Jangankan anak jalanan, mahasiswa yang berjualan yang menganggu keamanan kampus juga kami awasi dan amankan,” papar Engkus Supaedi, salah satu satpam di UIN SGD Bandung, Hari (07/04).

Meski tak banyak anak jalanan yang masuk ke dalam kampus, namun terkadang tingkah dan cara mereka meminta uang cukup meresahkan mahasiswa. “Sebenarnya biasa aja sih kalau ada anak jalanan yang masuk ke kampus, soalnya mereka cuma ada satu atau dua,” ujar Eli Nurlaleli, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah.

Meski tak bermasalah dengan kehadiran anak jalanan di kampus, Eli menganggap pemberian uang pada anak jalanan bukanlah solusi. “Menurut saya, kita harus mengajarkan kepada mereka (anak jalanan, Red-) bahwa ada hal yang bisa mereka lakukan untuk mendapat uang (tanpa mengamen, Red-),” pungkasnya.

Selain Restu, Suaka juga mencoba menyambangi anak jalanan yang ada di luar UIN SGD Bandung. Rafael, bocah penjual jagung rebus dengan memikul karung jagunglah yang menjadi narasumber Suaka selanjutnya. Saat ditanyai, bocah ini hanya menjawab pelan dan mengangguk saja. Namun dari penjelasannya yang terbata, Rafael mengaku bahwa ia berjualan dari pukul 10 pagi hingga sore atau malam.

Ketika ditanyai apa ia berjualan karena keinginan sendiri atau disuruh orang tua, ia menjawab lirih bahwa ini semua adalah keinginannya. ”Keinginan sendiri, mau nolong ibu dan bapak aja,” ujar bocah yang masih duduk di bangku SD kelas 3 ini.

Beban hidup yang mendera Rafael pada usia sedini ini tak membuat mimpi akan masa depannya surut. Rafael memiliki cita-cita yang tinggi sama seperti Restu, yaitu menjadi dokter. “Kalo udah malam pulang, sampai di rumah belajar dan buat tugas sama kakak. Aku ingin jadi dokter,” pungkasnya dengan mata polos.

Melihat fenomena anak jalan yang populasinya meningkat saat ini, salah satu dosen Psikologi UIN SGD Bandung, Nuranisah Djamal mengatakan adanya anak jalanan itu dilatarbelakangi keterbatasan ekonomi dan pendidikan dari kedua orangtuanya. Pada umumnya, orangtua yang berlatar ekonomi kurang mampu akan menjadikan anaknya sebagai media untuk mencari nafkah.

“Latar belakang anak-anak tersebut berada di jalanan karena keadaan ekonomi dan juga pendidikan yang kurang. Tapi, kita harus melihat dulu anak jalanan biasa atau anak pank. Kalau melihat khususnya anak jalanan, itu disebabkan faktor ekonomi. Terlebih bocah-bocah kecil kalo sudah turun kejalanan akan membuat orang kasihan dan memberi uang kepada mereka,” ujar Nuranisah.

Ia juga menambahkan bahwa dengan adanya anak jalanan akan memberikan dampak yang buruk pada pertumbuhan dan psikologis mereka, karena mereka masih harus menerima stimulasi yang baik. “Kalau mereka dari kecil sudah hidup di jalanan, maka akan susah untuk mereka hidup di lingkungan yang baik, karena di jalanan mereka tereksploitasi mental, kejahatan seksual, bahkan narkoba,” lanjut Nuranisah.

Meskipun banyak anak-anak jalanan yang terlihat hidupnya terlantar, tidak sedikit dari masyarakat yang mau menampung mereka dan menaungi kehidupan mereka dalam bentuk lembaga. Salah satunya adalah Rumah Pelangi yang merupakan lembaga penaungan anak jalanan di Kampung Kole Lega RT01/RW 07, Desa Pasirmulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung.

Inan,  pendiri lembaga yang menaungi anak jalanan tersebut mengatakan bahwa faktor anak jalanan itu hidup di jalanan karena masalah ekonomi keluarga yang mereka hadapi, yang membuat mereka lebih memilih untuk hidup di jalanan mencari uang.

“Faktor umum dari anak jalanan itu karena himpitan ekonomi dalam keluarga, maka dari itu mereka memilih untuk hidup di jalanan mencari uang. Meskipun punya kedua orangtua mereka tetap lebih suka hidup dijalanan,” ujarnya saat diwawancara melalui via telepon pada (07/04).

Inan juga mengatakan, bahwa sebenarnya ketika lebih mendekatkan diri kepada mereka, anak jalanan itu sangat ingin untuk sekolah. Tapi, dikarenakan satu dan lain halnya mereka terpaksa untuk menguburkan mimpinya dalam-dalam.

“Sebenarnya mereka itu sangat ingin untuk sekolah, tapi karena adanya paksaan dari keluarga atau memang karena himpitan ekonomi maka mereka berhenti sekolah. Karena sekarang keadaannya mencari uang adalah suatu kewajiban bagi anak-anak jalanan tersebut,” ujar Inan

Inan sebagai seorang pendiri Lembaga anak jalanan selalu berusaha untuk membuat mereka belajar dengan metode pengajaran yang asyik dan menyenangkan. Lebih dalam dari itu, Inan juga berharap anak-anak jalanan sekarang bisa terlepas dari mabuk-mabukkan, mengisap lem dan perilaku menyimpang lainnya di usia mereka yang masih dini.

“Saya kedepannya hanya berharap yang sederhana saja, semoga anak-anak jalanan terhindar atau bahkan terlepas dari lem, mabuk-mabukkan, dan perilaku lainnya yang mana kita selalu mencoba meski belum berhasil,” papar Pendiri Rumah Pelangi yang yang masih duduk di kelas 2 SMA tersebut.    



Share:

Napas Perekonomian di Rongga Kampus UIN Bandung

Kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Awan mendung menyergap seketika di antara gedung-gedung tinggi yang berpijak di tanah kampus bernapaskan Islami, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Rabu (10/2). Hiruk-pikuk seakan mereda ketika barisan hujan menyapu jalanan kampus yang melembab.

Satu per satu mereka, mahasiswa UIN Bandung memasuki kantin lantai satu kampus untuk sekedar berteduh.
Hujan menguyur dengan deras, perlahan-lahan mereka memasuki area kantin. Pedagang menanti, bahkan siap untuk melayani. Jika ibaratkan tubuh, berdirinya UIN Bandung di tahun 1955 menjadi rongga kehidupan ekonomi masyarakat Cipadung dan sekitarnya.

Hal tersebut seperti yang  dituturkan Kardi Sukardi salah satu pedagang yang berada di kampus UIN Bandung. Di antara banyaknya pedagang yang berdatangan, Kardi tetap bertahan untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya dengan berjualan gorengan di kantin lantai satu.
Mulai berjualan dari pagi hingga sore, Kardi merasakan keberadaan kampus memberikan peran dalam kehidupan masyarakat, termasuk bagi dirinya yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tahun 1999.

Kardi memulai cerita sesaat sebelum mengoreng kembali aneka jajanan yang dijualnya, seperti bala-bala, gehu, dan tempe. Kata Kardi kampus itu berperan untuk masyarakat sekitar, dengan disediakannya tempat seperti ini (kantin, red-), meskipun fasilitas belum memadai.
“Iya kalau bapak sih ngerasain kampus itu berperan, terlebih kaya bapak yang kena PHK gini, udah gak ada kerja kita jualan di sini sampai sekarang, ya Alhamdulillah bisa mencukupi meski jualan gorengan juga,” kata laki-laki yang akrab disapa Abah itu.

Di lain waktu,Suaka pun menghampiri Nurhayati  yang juga berprofesi sebagai pedagang. Nurhayati bercerita, dulu di awal berdirinya UIN Bandung sama sekali tidak ada pedagang, baik itu dari masyarakat asli sendiri. Mahasiswa dulu harus jajan keluar dengan jarak yang lumayan jauh. Namun, kata Nurhayati, setelah dilakukannya perombakan atau perubahan di kampus, pedagang mulai berdatangan dan berani berjualan, tapi kebanyakan pendatang hingga saat ini.

Berbicara menyoal penghasilan Kardi dan Nurhayati seakan sepakat dengan adanya kampus UIN Bandung membantu ekonomi masyarakat. Nurhayati yang merupakan alumni dari IAIN Bandung dulunya, mengatakan dengan adanya kampus membuat masyarakat berani untuk membuka usaha di dalam kampus.

Lalu, bagaimana sesungguhnya  peran kampus UIN Bandung dalam perekonomian masyarakatnya?
Menelik lebih dalam peran kampus menyoal ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat Cipadung, Suaka mendatangi kantor Kelurahan Cipadung, yang berada tepat di pinggir jalan Desa Cipadung. Seorang staf kelurahan menyambut dengan bahasa Sunda yang ramah,” Bade ka saha? (Mau ke siapa,red-),” ungkapnya sembari memanggil Lurah yang berada di dekatnya.
Mengawali perbincangan dengan bahasa Sunda nan apik, Lurah Cipadung Iyus Rusmana, mempersilahkan duduk di hadapannya yang sedang menggunakan baju hitam khas Sunda. Iyus berpendapat dengan adanya kampus UIN Bandung,  otomatis berperan untuk menumbuhkan ekonomi masyarakat.

“Rata-rata mata pencaharian masyarakat di sini pekerja, PNS, ada juga pedagang, cuma mereka sampingan,” papar Iyus, saat ditemui di kantornya, jalan Desa Cipadung.
Jawaban serupa pun  diungkapkan oleh Sekretaris Camat Suardi,  yang ditemui di kantor Kecamatan Cibiru, Suardi memaparkan kampus UIN Bandung memiliki peran penting, tapi dari banyak aspek, termasuk  ekonomi terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya.

Suardi juga mengatakan sebenarnya banyak aspek yang saling mempengaruhi satu sama lain, tidak hanya menyoal ekonomi. Banyak dampak ketika kampus UIN Bandung ada. Secara kasat mata, kata Suardi dampak ekonomi pasti ada. Ada orang, pasti ada kebutuhan, dari hal itu akan muncul peluang. Meski pun modal tidak ada, tapi bagi mereka yang punya peluang, mereka akan dapat berusaha.

“Intinya itu berawal dari bagaimana cara masyarakat melihat peluang, ketika mereka yang mampu memainkan peluang meski tidak ada modal, maka mereka akan dapat keuntungan, baik itu masyarakat pendatang ataupun asli,” ujar pria berkulit putih tersebut diselingi senyum.

Berdirinya UIN Bandung 61 tahun silam, membentuk wajah baru dalam kehidupan masyarakat Cipadung dari berbagai aspek seperti yang dipaparkan oleh Suardi sebelumnya. Dalam hal ini kampus bukan hanya berperan sebagai instansi pendidikan, lebih dari itu juga menyentuh lebih dalam seperti     hal ekonomi.

Menelusuri peran kampus UIN Bandung dalam perekonomian masyarakat Cipadung, Suaka beberapa kali mencoba menemui Ketua Pengabdian Masyarakat Ramdani Wahyu Sururie di kantornya lantai satu Lecture Hall (LH) untuk mendapatkan jawaban yang berimbang, mengenai peran kampus yang berlokasi di jalan A.H. Nasution, Cibiru.

Perbincangan terjalin bersama Ramdani ketika ditemui di kantornya ba’da Jumat lalu. Ramdani mengatakan kampus berada di tengah masyarakat, sesungguhnya menjalankan tiga Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian. Dalam hal ini lewat Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (Lp2m) UIN Bandung memperlihatkan perannya di tengah-tengah masyarakat sebagai salah satu sentral kehidupan.

Di antara Tri Dharma Perguruan Tinggi, pengabdian merupakan salah satu kegiatan yang paling ditunggu oleh masyarakat. Pengabdian merupakan aspek sosial ke masyarakatnya,bagaimana kampus peduli dengan kehidupan masyarakat, tidak hanya ekonomi tapi bidang yang lain juga menyertai.
Adapun pengabdian beda dengan praktik, kata Ramdani di tengah kesibukannya mengurusi Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM), kalau praktik lebih kepada keahlian mahasiswa yang diperlihatkan, kalau pengabdian masyarakat yang dicerdaskan dengan kemampuan Perguruan Tinggi, baik di Cipadung dan Jawa Barat khususnya, ataupun Indonesia umumnya.

“Pengabdian itu langsung mahasiswa yang mencerdaskan masyarakat dengan pembelajaran yang telah didapatkannya di kampus, jadi jangan hanya mahasiswa saja yang cerdas, masyarakatnya juga harus membawa,” papar Ramdani.

Lebih lanjut, Ramdani mengatakan peran nyata kampus UIN Bandung saat ini menjadi fasilitator bagi masyarakat, seperti yang berdagang disediakan tempat di dalam kampus seperti kantin, adapun lowongan pekerjaan seperti Satpam, Staf Adminitrasi, atau OB juga diisi oleh masyarakat Cipadung.
”Iya, saat ini kampus lebih menjadi fasilitator, namun ke depannya kampus akan membuat program baru, seperti Desa binaan, dan beberapa hal lainnya. Hal yang jelas  kita dari Lp2m tetap menjadi pihak yang mendukung tidak ingin masyarakat tercederai oleh permasalahan yang ada,” papar Ramdani.
Peran kampus bernapaskan islami ini menjadi rongga untuk menyambung nyawa perekonomian  masyarakat sekitarnya, dengan apa yang dipaparkan oleh Ramdani. Lebih lanjut, Wahyudin Darmalaksana menambahkan Lp2m sejatinya hadir sebagai poin dalam Undang-Undang tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan (UU TJSL).

Berangkat dari UU tersebut, maka nantinya akan muncul pertanyaan, apakah UIN Bandung ini merupakan perusahaan atau tidak. Tetapi Ketua sub bagian penelitian tersebut berkeyakinan secara nomenclacture UIN Bandung bukan perusahaan, tapi sebagai badan publik yang akan terkena tuntutan, itu berlaku untuk semua kampus seperti ITB, Unpar, dan lainnya.

Seperti halnya yang sudah dijelaskan oleh Ramdani sebelumnya, Yudi sapaan akrab Wahyudin,menegaskan bahwa UIN Bandung tergantung kepada tiga Tri Dharma. Intinya, di sini bukan hanya menyoal ekonomi saja, karena di dalam TJSL menyangkut semuanya.

“ Jadi kita harus dulu UU tentang TJSL. Setelah itu baru kita lihat ke masyarakat, seperti apa permasalahan yang dimunculkan, tidak hanya aspek ekonomi, tapi akan sangat banyak aspek yang saling berkaitan,” ujar Yudi saat ditemui di ruanganya yang berhadapan dengan kantor Lp2m.

Keberadaan kampus UIN Bandung pun menjadi sentral bagi masyarakat dalam berkegiatan, baik untuk masyarakat asli ataupun pendatang. Suardi mengatakan masyarakat pendatang dalam suatu tempat harus mengikuti aturan, meski ada peluang, tapi mereka tetap harus mengikuti jalannya aturan jika ingin pindah tempat.

Aturan yang harus diikuti oleh masyarakat pendatang seperti membuat surat keterangan pindah. “Harus jelas, ada aturan juga seperti membuat surat pindah dan lainnya,” kata Suardi. 
Suardi tidak memungkiri kelak  jika ada kesenjangan sosial atau permasalahan yang ditimbulkan dalam berbagai hal, solusinya kata Suardi yaitu duduk bersama. Duduk dalam artian musyarawarah, ada pihak-pihak yang terkait dan menceritakan apa yang terjadi. “Sebaiknya ngobrol bersama, baik itu dari pihak masyarakat ataupun kampus, siapa pun yang terlibat, meski nanti harus mengeluarkan beberapa biaya.”

Masih dari fungsi dan peranan apa yang bisa diberikan kampus kepada masyarakat sekitarnya, Kardi sebagai pedagang yang telah lama mencari penghidupan di dalam kampus menyelipkan harapan untuk ke depannya, kata pria berusia 61 tahun tersebut, kelak kampus bisa memberikan hal yang lebih baik kepada pedagang yang sudah lama.

“ Dilindungilah kita yang sudah lama di sini, fasilitas juga di kasih, seperti meja dan kursi, jangan sampai nanti ada pembeli malah bingung mau duduk di mana,” pungkasnya diselingi tawa.



Share:

Aksi Jurnalis

Puluhan jurnalis dari berbagai media massa cetak, elektronik, dan online yang tergabung dalam Solidaritas Wartawan Bandung menggelar aksinya dengan berjalan kaki sambil membentangkan poster bermacam-macam tulisan keprihatinan. Saat melakukan aksi tersebut, semua peralatan liputan mulai dari kamera hingga ID Card mereka lepas.

Para jurnalis menuju ke kantor Polrestabes Bandung dan melakukan aksi teatrikal di halaman kantor tersebut. Puluhan jurnalis Kota Bandung ini mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian Makasar terhadap jurnalis, saat sedang meliput demonstrasi menolak kenaikan harga BBM.

Koordinator Solidaritas Wartawan Bandung yang juga Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia atau IJTI Jawa Barat, Iman S Nurdin mengatakan, hingga saat ini aparat kepolisian dianggap belum memahami sepenuhnya kerja jurnalis yang dilindungi oleh Undang-Undang Pers.

“Kita sangat kecewa dan mengutuk keras aksi kekerasan yang terjadi di Makasar yang melibatkan empat orang korban dari teman-teman televisi, fotografer, dan teman-teman wartawan cetak. Ini menjadi pukulan keras buat kita, ternyata masih banyak aparat hukum terutama kepolisian yang masih belum memahami kinerja jurnalis sebagai pihak yang memiliki perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999,” kata Iman S Nurdin.

Iman menambahkan, aksi kekerasan terhadap jurnalis selalu terulang hingga berkali-kali. Peristiwa penganiayaan terhadap jurnalis di Makasar baru-baru ini, telah menambah daftar hitam aksi kekerasan yang dilakukan aparat. Oleh karena itu, puluhan jurnalis dari Solidaritas Wartawan Bandung menuntut agar kasus tersebut diusut tuntas.

“Kita berharap agar diusut tuntas bahkan pihak-pihak yang terkait dan pimpinan yang terlibat diusut tuntas bahkan dicopot (dari jabatannya),” lanjutnya," ujar Fery Yuniar, jurnalis televisi (Kompas TV).
Menurut Fery Yuniar, perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia hingga saat ini masih sangat kurang. Padahal menurutnya, pekerjaan seorang jurnalis sangat berisiko.

“Saya kira kalau melihat ke bagian timur Indonesia, perlindungan terhadap wartawan sangat sangat kurang. Karena ini sudah terjadi beberapa kali wartawan dipukuli, ditendang, dan segala macam. Ya saya kira ini merupakan bukti bahwa kepolisian di daerah (Indonesia) timur sana belum memahami bagaimana kinerja seorang jurnalis,” lanjutnya.

Atas peristiwa kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap jurnalis di Makasar, Solidaritas Wartawan Bandung menuntut agar Kapolda Sulawesi Selatan dan Kapolrestabes Makasar dicopot dari jabatannya.

Share:

Panduan Membuat Website Gratis

Cara mudah membuat website gratis lewat video berikut.
Share:

Dr Zakir Bangga Murtad dari Islam

Seorang pemuda asal Iran bercerita kepada Dr. Zakir Naik bahwa setelah dia mempelajari sejarah bangsa Iran, dia membaca bahwa tentara Muslim datang dan menyerang negaranya. Dia membaca bahwa tentara Muslim tersebut memaksa penduduk Iran untuk memeluk Islam. Dia tidak setuju dengan pemaksaan tersebut. Dia juga bercerita bahwa keluarganya memeluk Islam, namun karena dia tidak ingin terlahir sebagai Muslim, maka dari itu dia memutuskan untuk murtad dari Islam. Ini adalah bagian dari sesi tanya-jawab Dr. Zakir Naik di UITM Shah Alam, Malaysia.

Share:

Kasus Pemberagusan Buku

Di Yogyakarta dan Bandung, para pegiat mendesak aparat kepolisan dan militer menghentikan intimidasi dan pemberangusan terhadap buku. "Aparat juga diminta menghentikan pembiaran perbuatan organisasi massa anarkis yang mengancam kebebasan ekspresi," demikian pernyataan mereka.

Di Yogyakarta, Selasa lalu, sejumlah orang yang tergabung dalam Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY) menyatakan penerbitan buku adalah 'amanat reformasi dan konstitusi yang mesti dijaga dan dirawat, dan bukan diberangus'.Pernyataan itu disampaikan di kantor LBH Yogyakarta, bertepatan hari buku nasional, yang dihadiri pula komunitas literasi yang mendukung MLY, seperti dilaporkan wartawan di Yogyakarta, Yaya Ulya.

Segala bentuk pelarangan atas penerbitan buku dan produk-produk akal budi seyogyanya dilakukan atas seizin pengadilan sebagaimana diatur oleh hukum dan perundangan yang berlaku,” kata Adhe Ma’ruf dari MLY dalam pernyataannya.Menurutnya, pelarangan buku harus mengedepankan aspek penghormatan pada hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan.
Reaksi atas 'bentuk teror'

Protes digelar menanggapi apa yang mereka sebut sebagai 'bentuk-bentuk teror' terhadap penggiat buku di Yogyakarta, menyusul aksi penyitaan buku di pelbagai kota oleh aparat keamanan. Adhe mengungkapkan, pekan ini sudah terjadi 'tindakan teror' terhadap aktivitas literasi terhadap setidaknya dua penerbit dan satu toko buku. Mereka didatangi sejumlah orang yang diantaranya mengaku aparat kepolisian setempat.

Diungkapkan pula telah terjadi kasus-kasus penyitaan buku di Kediri (Jatim), Tegal (Jateng), pelarangan bazar buku oleh pemerintah kota Gresik, Jatim, penyitaan buku dan wajib lapor di Cirebon, Jabar, serta interogasi terhadap penjual buku di Bandung, Jabar. Garin Nugroho -sutradara film yang sekaligus pegiat literasi buku- ikut hadir dalam protes di kantor LBH dan meminta aparat menghentikan teror terhadap penggiat buku di Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya.
Aparat diminta hentikan intimidasi

Pada saat bersamaan di Bandung, para pegiat literasi, seniman, aktivis budaya, dan pelaku komunitas kreatif mendesak aparat kepolisan dan militer menghentikan intimidasi dan pemberangusan terhadap buku, diskusi buku, dan aktivitas literasi lainnya. "Ini situasi paling absurd bagi budaya demokrasi dan pendidikan rakyat," kata Ahda Imran, pegiat literasi, dalam pernyataannya, Selasa (17/05).

"Proses pembodohan sedang terjadi akibat belum sembuhnya bangsa ini dari epidemi sejarah," tambahnya.Aksi penolakan ini digelar menyusul aksi pembubaran paksa monolog Tan Malaka, penangkapan seniman pantomim, dan pembubaran sekolah Marx di ISBI, baru-baru ini.
Image copyright BBC Indonesia Image caption Di Yogyakarta, terjadi tindakan teror terhadap aktivitas literasi yaitu dialami setidaknya dua penerbit dan satu toko buku. Mereka didatangi sejumlah orang - diantaranya dari kepolisian - untuk menyita buku-buku 'kiri'.

Dalam pernyataannya, para aktivis Bandung mengatakan, pemberangusan terhadap dunia literasi telah melanggar Keputusan Mahkamah Kontitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.

Keputusan tersebut telah membatalkan UU No.4/PNPS/1963, yang selalu dijadikan dasar bagi kejaksaan dalam pemberedelan buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum.

Mereka mengatakan, kejaksaan hanya bisa menyita buku dan barang cetakan lain jika telah mendapat izin pengadilan.

"Maka, mengingat keputusan Mahkamah Keputusan tersebut, aparat kepolisian, militer, terlebih organisasi massa, tidak berhak melakukan razia dan memberangus buku," kata para aktivis dalam pernyataannya.

Alasan lainnya, lanjut mereka, Tap MPRS No. XXV Th. 1966 tentang larangan penyebaran paham komunisme, sesungguhnya telah ditinjau ulang melalui Tap MPR No.1 Tahun 2003 melalui Pasal 2 angka satu."Yang isinya mengamanatkan tetap adanya penghormatan pada prinsip-prinsip keadilan, menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asai manusia,” ujar aktivis Bandung.


Share:

Kisah Pramoedya Ananta Toer

Pembunuhan dan penangkapan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilakukan hanya beberapa hari sejak kudeta Dewan Revolusioner yang gagal, pada 1 Oktober 1965.Seperti diketahui, dalam kudeta itu tujuh orang jenderal pucuk pemimpin Angkatan Darat (AD) tewas dibunuh. Mayat mereka ditanam dalam sumur tua di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Beberapa hari sejak kudeta, sumur tua tempat jenazah para jenderal berhasil ditemukan. Tidak jauh dari sumur tua, terdapat tempat latihan para pemuda komunis. Tentara menduga, PKI terlibat dalam kudeta. Sejak saat itu, para anggota dan simpatisan PKI ditangkap dan dibunuh. Dalam waktu tiga bulan, sejak Oktober-Desember 1965, Komisi Peneliti Korban Gestapu melaporkan korban tewas mencapai satu juta lebih.

Selain dibunuh, ribuan anggota dan simpatisan PKI juga ditangkapi oleh tentara. Mereka dijemput secara paksa dari rumahnya, diculik dalam perjalanan tanpa mengenal waktu. Mereka yang melawan akan dihabisi. Selama dalam penjara, para tahanan politik (tapol) kerap mendapatkan siksaan, mulai dari dipukul dengan alat keras, disetrum, hingga dicabuti kukunya satu persatu. Siksaan itu membuat para tapol menjadi gila.

Pada 1968, Mayor Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soekarno, berencana membuang para tahanan ke tempat pengasingan yang berada sejauh 1.400 mil dari Jakarta. Demi menjaga kewibawaan Pemerintah Orde Baru, Pancasila, dan dalih menjalankan UUD 1945, Presiden Soeharto membuang sebanyak 2.500 tapol ke tempat pengasingan di Pulau Buru, Maluku, pada tahun 1969.

Sebagian besar tapol yang dibuang pada gelombang pertama ini terdiri dari kaum intelektual, mulai dari profesor, politikus, seniman, wartawan, hingga mahasiswa. Mereka diduga terlibat langsung dalam kudeta. Gelombang tapol yang pertama dibuang ini masuk dalam Golongan A. Jumlah mereka jauh lebih sedikit dari tapol Golongan B yang dinilai tidak terlibat secara langsung, dan Golongan C yang hanya ikut-ikutan.

Salah seorang tapol Golongan A itu adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dia masuk Golongan A hanya karena bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI. Sama dengan para tapol lainnya, hingga kini belum jelas keterlibatan Pramoedya dalam pemberontakan sekelompok tentara yang menculik dan membunuh tujuh orang jenderal, pada 1 Oktober 1965 itu.

Pramoedya ditangkap tentara, pada 13 Oktober 1965. Karena bersikap keras terhadap tentara, dia dipukul dengan menggunakan popor senapan. Pukulan ini berakibat jangka panjang, dan membuatnya tuli. "Aku kehilangan pendengaran sepenuhnya. Degenerasi. Aku tuli. Aku sangat takut, dan aku mulai panik," tulis Pramoedya, dalam bukunya yang diberi judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid Satu, halaman 92.

Saat dijemput paksa tentara dari rumahnya, Pramoedya sedang bekerja menyusun Ensiklopedi Sejarah Gerakan Kemerdekaan Nasional 1900-1945. Nahas, semua buku dan dokumentasinya dibakar tentara.Pemusnahan harta karun Pramoedya di perpustakaan pribadinya itu diduga yang membuatnya marah dan dipukul dengan gagang sten, hingga tulang pelipis kirinya mengalami retak dan membuatnya tuli.

Share:

Categories

Artikel (5) Berita (6) Feature (5) Foto (5) Video (5)

Berita

Feature


Artikel

Sastra

Tulisan berupa Cerpen dan Puisi