Berbicara, Menulis, Mengkritisi

Kamis, 19 Mei 2016

Tak Jalanan, Di Kampus pun Jadi

Anak Jalanan di dalam Kampus UIN BDG
Pernah melihat anak jalanan di kampus? Beberapa waktu yang lalu, keberadaan anak jalanan bukanlah hal asing bagi civitas akademika UIN SGD Bandung. Mereka tak sungkan mengamen, bahkan meminta uang di dalam atau di luar gedung perkuliahan.

Jika di lihat dari letak wilayah, UIN SGD Bandung memang strategis untuk anak jalanan mencari peruntungan. Selain merupakan pusat keramaian, UIN SGD Bandung bertempat di perbatasan kota yang masyarakatnya adalah masyarakat transisi. “ Teh, minta uang lima ribu untuk jajan,” begitulah salah satu contoh kata-kata yang terucap dari bibir mungil mereka. Tak tahu tempat, tak tahu malu, dan tak tahu akan kemana lagi, itulah kondisi yang dialami oleh para pemilik kaki-kaki mungil tersebut.

Satu dari sekian anak jalanan yang berhasil diwawancarai bernama Restu. Bocah yang pernah mengamen di kawasan UIN SGD Bandung tersebut mengatakan bahwa ia mengamen untuk jajan dan membantu kedua orangtuanya.“Ngamen pulang sekolah, pulang semaunya aja, asal dapat uang,” ujar Restu dengan wajah yang masih riang ketika malam sudah mulai larut di peraduannya, Rabu (20/03). Meskipun mengamen dari pagi hari hingga larut malam, Restu yang kini lebih banyak mengamen di angkot, tetap kelihatan bersemangat dengan botol kecil sebagai alat musiknya.

Bocah yang tinggal di daerah Gede Bage ini mengaku jarang belajar di rumah karena sudah terbiasa pulang larut malam, walaupun begitu bocah tersebut memiliki cita-cita yang tinggi yaitu ingin menjadi dokter. “Mau jadi dokter, kan sekolah nanti kalau udah besar jadi dokter aja biar dapat uang banyak,” ujar bocah yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar ini.

Bicara soal keberadaan anak jalanan di Kampus Hijau, Satuan Pengaman (Satpam, Red-) UIN SGD Bandung tak mau tinggal diam. Jika dulu anak jalanan dibiarkan keluar-masuk kampus dengan leluasa. Kini anak jalanan tak bisa memasuki kampus seenaknya, karena Satpam UIN SGD Bandung bertugas di setiap ruas jalan untuk menjaga keamanan dan ketertiban Kampus Hijau.

”Kalau anak jalanan ke sini itu sudah pasti tidak boleh, akan kami amankan karena sudah ada peraturannya. Lagian tidak etis jika anak jalanan ada di dalam  tempat akademis. Jangankan anak jalanan, mahasiswa yang berjualan yang menganggu keamanan kampus juga kami awasi dan amankan,” papar Engkus Supaedi, salah satu satpam di UIN SGD Bandung, Hari (07/04).

Meski tak banyak anak jalanan yang masuk ke dalam kampus, namun terkadang tingkah dan cara mereka meminta uang cukup meresahkan mahasiswa. “Sebenarnya biasa aja sih kalau ada anak jalanan yang masuk ke kampus, soalnya mereka cuma ada satu atau dua,” ujar Eli Nurlaleli, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah.

Meski tak bermasalah dengan kehadiran anak jalanan di kampus, Eli menganggap pemberian uang pada anak jalanan bukanlah solusi. “Menurut saya, kita harus mengajarkan kepada mereka (anak jalanan, Red-) bahwa ada hal yang bisa mereka lakukan untuk mendapat uang (tanpa mengamen, Red-),” pungkasnya.

Selain Restu, Suaka juga mencoba menyambangi anak jalanan yang ada di luar UIN SGD Bandung. Rafael, bocah penjual jagung rebus dengan memikul karung jagunglah yang menjadi narasumber Suaka selanjutnya. Saat ditanyai, bocah ini hanya menjawab pelan dan mengangguk saja. Namun dari penjelasannya yang terbata, Rafael mengaku bahwa ia berjualan dari pukul 10 pagi hingga sore atau malam.

Ketika ditanyai apa ia berjualan karena keinginan sendiri atau disuruh orang tua, ia menjawab lirih bahwa ini semua adalah keinginannya. ”Keinginan sendiri, mau nolong ibu dan bapak aja,” ujar bocah yang masih duduk di bangku SD kelas 3 ini.

Beban hidup yang mendera Rafael pada usia sedini ini tak membuat mimpi akan masa depannya surut. Rafael memiliki cita-cita yang tinggi sama seperti Restu, yaitu menjadi dokter. “Kalo udah malam pulang, sampai di rumah belajar dan buat tugas sama kakak. Aku ingin jadi dokter,” pungkasnya dengan mata polos.

Melihat fenomena anak jalan yang populasinya meningkat saat ini, salah satu dosen Psikologi UIN SGD Bandung, Nuranisah Djamal mengatakan adanya anak jalanan itu dilatarbelakangi keterbatasan ekonomi dan pendidikan dari kedua orangtuanya. Pada umumnya, orangtua yang berlatar ekonomi kurang mampu akan menjadikan anaknya sebagai media untuk mencari nafkah.

“Latar belakang anak-anak tersebut berada di jalanan karena keadaan ekonomi dan juga pendidikan yang kurang. Tapi, kita harus melihat dulu anak jalanan biasa atau anak pank. Kalau melihat khususnya anak jalanan, itu disebabkan faktor ekonomi. Terlebih bocah-bocah kecil kalo sudah turun kejalanan akan membuat orang kasihan dan memberi uang kepada mereka,” ujar Nuranisah.

Ia juga menambahkan bahwa dengan adanya anak jalanan akan memberikan dampak yang buruk pada pertumbuhan dan psikologis mereka, karena mereka masih harus menerima stimulasi yang baik. “Kalau mereka dari kecil sudah hidup di jalanan, maka akan susah untuk mereka hidup di lingkungan yang baik, karena di jalanan mereka tereksploitasi mental, kejahatan seksual, bahkan narkoba,” lanjut Nuranisah.

Meskipun banyak anak-anak jalanan yang terlihat hidupnya terlantar, tidak sedikit dari masyarakat yang mau menampung mereka dan menaungi kehidupan mereka dalam bentuk lembaga. Salah satunya adalah Rumah Pelangi yang merupakan lembaga penaungan anak jalanan di Kampung Kole Lega RT01/RW 07, Desa Pasirmulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung.

Inan,  pendiri lembaga yang menaungi anak jalanan tersebut mengatakan bahwa faktor anak jalanan itu hidup di jalanan karena masalah ekonomi keluarga yang mereka hadapi, yang membuat mereka lebih memilih untuk hidup di jalanan mencari uang.

“Faktor umum dari anak jalanan itu karena himpitan ekonomi dalam keluarga, maka dari itu mereka memilih untuk hidup di jalanan mencari uang. Meskipun punya kedua orangtua mereka tetap lebih suka hidup dijalanan,” ujarnya saat diwawancara melalui via telepon pada (07/04).

Inan juga mengatakan, bahwa sebenarnya ketika lebih mendekatkan diri kepada mereka, anak jalanan itu sangat ingin untuk sekolah. Tapi, dikarenakan satu dan lain halnya mereka terpaksa untuk menguburkan mimpinya dalam-dalam.

“Sebenarnya mereka itu sangat ingin untuk sekolah, tapi karena adanya paksaan dari keluarga atau memang karena himpitan ekonomi maka mereka berhenti sekolah. Karena sekarang keadaannya mencari uang adalah suatu kewajiban bagi anak-anak jalanan tersebut,” ujar Inan

Inan sebagai seorang pendiri Lembaga anak jalanan selalu berusaha untuk membuat mereka belajar dengan metode pengajaran yang asyik dan menyenangkan. Lebih dalam dari itu, Inan juga berharap anak-anak jalanan sekarang bisa terlepas dari mabuk-mabukkan, mengisap lem dan perilaku menyimpang lainnya di usia mereka yang masih dini.

“Saya kedepannya hanya berharap yang sederhana saja, semoga anak-anak jalanan terhindar atau bahkan terlepas dari lem, mabuk-mabukkan, dan perilaku lainnya yang mana kita selalu mencoba meski belum berhasil,” papar Pendiri Rumah Pelangi yang yang masih duduk di kelas 2 SMA tersebut.    



Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Categories

Artikel (5) Berita (6) Feature (5) Foto (5) Video (5)

Berita

Feature


Artikel

Sastra

Tulisan berupa Cerpen dan Puisi