Berbicara, Menulis, Mengkritisi

Berita

Blog ini berisi kumpulan informasi berupa berita (straight news), feature, artikel, foto,sastra

Feature

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature,foto, sastra

Artikel

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature, artikel,foto, sastra

Foto

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature,artikel, foto, sastra

Sastra

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature,artikel,foto, sastra

Sabtu, 30 April 2016

Film Indonesia Masih di Zona Nyaman


Film Indonesia
Tepat pada 30 Maret lalu, hari film memasuki hari jadi yang ke 65 tahun. Berdasarkan informasi di web google, hari jadi film ditetapkan pada tanggal 30 Maret 1950 dengan lahirnya film Darah dan Doa yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Beranjak dari sejarah itu, hari perfilman Indonesia selalu diperingati pada tanggal 30 Maret.

Lalu, bagaimana kini perkembangan film Indonesia setelah berusia lebih dari setengah abad? Pada Senin (30/3) lalu,  Agus Hakim atau yang akrab disapa dengan nama bang Doel ikut berkomentar Laki-laki berkulit sawo matang ini pun memulai perbincangan dengan menjawab pertanyaan tersebut. “Perkembangan film di Indonesia semakin mencari keuntungan (profit), bukan lagi mengedepankan tujuan,” ujarnya saat ditemui di kantor dosen ISBI pekan lalu.

Film Indonesia, kata Doel, harus mampu mempertahankan kultur (budaya) yang ada, artinya kembali lagi ke kultur budaya Indonesia masing-masing. Perkembangan film di Indonesia dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, yaitu kapitalisme dan sekularisme yang menuntut perkembangan jalannya perfiman Indonesia untuk mencari keuntungan.

“Sesungguhnya untuk film, Indonesia itu banyak yang bisa dieksplor lagi. Jangan terlalu banyak mencontoh. Pertahankan saja kultur budaya kita sendiri,” ujarnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Esa, yang juga merupakan dosen jurusan film di ISBI. Esa mengatakan Indonesia dari segi konten sudah menang, karena Indonesia memiliki tempat yang bagus.

“Film di Indonesia cenderung mencari keuntungan karena bekerja sama dengan produser Hollywood,” ujar pria berkacamata tersebut. Tapi, lanjut Esa, film Indonesia masih tertinggal dari segi teknologi dibandingkan Amerika dan Jepang. Indonesia masih bersifat statis dari segi teknologi, “Amerika dan Jepang sudah jauh ke mana-mana dengan teknologinya, Indonesia masih di sini-sini saja,” ujarnya saat ditemui di kantin ISBI pada Senin (6/4) lalu.

Esa mengatakan, film itu sendiri berkembang di Indonesia pada tahun 1930-an yang mana film Indonesia tidak bisa terlepas dari kota Bandung. Pasalnya, film pertama di Indonesia yaitu Luntung Kasarung, yang mengambil tempat syuting di Bandung. Meskipun dibuat dalam versi Cina dan Belanda, kata Esa, tapi Luntung Kasarung merupakan cikal bakal dari perfilman Indonesia. “Dari sana film Indonesia mulai berkembang,meskipun yang buat orang luar negeri, tapi mengangkat cerita kearifan lokal di Indonesia,” cerita Esa.

Pasca kemerdekaan pun film-film Indonesia semakin bermunculan, lanjut Esa bercerita. Film-film yang berkembang seperti garapan dari Arifin C. Nur, Teguh Karya, dan Misbah. Menurut Esa, perkembangan film baik di Indonesia atau pun luar negeri semuanya berawal dalam bentuk propaganda. Esa mencontohkan film dokumenter dari Amerika pada tahun 1900-an.

“Kita bisa lihat bagaimana film Neil Amstrong dari Amerika. Dalam film itu diceritakan bahwa Neil satu-satunya manusia yang bisa pergi ke bulan. Masyarakat awalnya percaya, namun lama kelaman karena adanya penelitian, masyarakat jadi tahu, bahwa film itu tidak keadaan sebenarnya, itulah salah satu bentuk film yang bertujuan dan berfungsi sebagai propanganda,” ujar pria berusia 26 tahun tersebut.

Mira Lesmana, Ari Sihalsale, dan Garin Nugroho, merupakan deretan nama yang disebutkan oleh Esa sebagai produser lokal yang masih bisa mengimbangi para produser Hollywood. “Mereka adalah orang-orang yang mampu bertahan di film Indonesia.  Mereka membuat filmnya sudah lumayan, tidak hanya sekedar hiburan saja, tapi juga ada sisi sejarah dan arti lebihnya. Pokoknya ada input dan ouputlah untuk penonton,” ujar laki-laki yang juga berprofesi dosen di UNPAS dan Freelance film maker ini.

Esa, pria berkacamata dan bertopi coklat itu juga mengatakan bahwa perkembangan film di Indonesia selalu menggunakan tema tentang cinta. Di awal tahun 2000-an, kata Esa, film Indonesia muncul kembali. Film di Indonesia, 60-70 % berkonten tentang cinta, karena itu merupakan daya tarik agar film laku di pasaran. “ Film Indonesia seperti apapun akan ada cintanya, beda dengan film luar yang lebih berani mengambil jalan cerita berbeda, mungkin konten cintanya cuma 30% saja,” ungkapnya.

Di sisi lain, Doel mengatakan bahwa dalam dunia seni, tidak ada yang baru, yang ada hanya pembaharuan, termasuk film. Secara tema, menurut Doel, tema film Indonesia itu sama saja semuanya, namun hanya beda alur saja. Tapi, kenyataan saat ini yang lebih banyak berkembang adalah film esek- esek. Seperti halnya Esa, Doel juga mengatakan bahwa perfilman Indonesia sangat tertinggal jauh dari luar negeri.

“Indonesia dari teknologi sangat tertinggal. Sampai-sampai saya punya teman yang sudah ahli dalam kamera untuk buat film di luar negeri, tidak bisa menerapkan pemakaian kamera itu, karena teknologi di Indonesia yang belum memadai,” ujar dosen jurusan Film di ISBI dan Komunikasi Visual Grafis di UIN Bandung itu.

Dalam suasana yang sedikit bising di kantornya, Doel mengatakan perkembangan film di Indonesia masih diperhitungkan karena abu-abunya sistem pemerintahan. Seperti sebelumnya dijelaskan, menurut Doel, perfilman di Indonesia dipengaruhi oleh dua sistem yaitu Sekularisme dan Kapitalisme. Hal ini jelas mempengaruhi, karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah umat Islam.

Dalam membuat sebuah film, kata Doel, Ia berkonsisten untuk membuat film Islam. “Dalam sistem Sekularisme itu tidak ada pertanggungjawaban, tayangan untuk hari ini harus jadi hari ini juga,” ujar Doel. Lain halnya dengan Esa. Esa berpendapat antara dunia film dan Agama jangan dipersamakan. Esa berpendapat jangan menilai Indonesia saja dari segi umat Islam terbanyak, tapi negara-negara yang benar-benar Islam saja berkonflik antar sesama.

“Masalah agama dalam produksi film itu sendiri, itu hanya sebagai variasi saja sebenarnya. Jangan ngomong-ngomong Indonesia agama muslim terbesar, karena di Yaman, Arab Saudi, Islam lawannya juga Islam. Jadi, agama-agama, film ya film, “ ujarnya.

Meski pun perkembangan film di Indonesia masih menunjukkan di zona nyaman, baik Esa dan Doel berpendapat bahwa pada suatu hari film Indonesia akan booming. “Film Indonesia sebenarnya sudah booming, di mata Internasional, tinggal pengemasannya saja, karena film barat pun mengambil lokasi syuting di Indonesia. ” ujar Esa.

Film Indonesia yang bergenre Islam


Berbicara perkembangan film, Doel lebih tertarik memberi jawaban mengenai film Islam. Pria kelahiran Jakarta, 47 tahun silam itu sudah banyak berkegiatan dalam proses pembuatan film-film Islam. Seperti menulis dan meyutradarai skenario sinetron Semua MilikNya yang tayang di FTV-SCTV beberapa tahun yang lalu.

Doel mengatakan bahwa film Islam kini sudah bisa dibilang punah di Indonesia. Pria yang berselara humor ini pun mengatakan dalam membuat film Islam memiliki tanggungjawab yang besar, sutradaranya bukan hanya dia saja, tapi juga Allah SWT. Jika dianalogikan, kata Doel, dalam membuat film Islam itu kita diibaratkan naik sebuah perahu, kita ingin menuju Allah yang di ujung sana berupa menara. Namun, ketika menju ke menara tersebut, banyaknya hambatan di lautan.

Ombak ibaratkan sekularisme dan hiu kapitalisme, itulah yang terjadi di perfilman Indonesia.”
Namun, Doel tidak menampik jika di Indonesia film Islami masih ada. Bukan film Islam. Bedanya, film Islam adalah benar-benar murni film islam, tanpa ada kebohongan, termasuk para pemain yang beradengan suami istri,” saya pasti pakai yang suami istri benaran, seperti waktu itu saya pakai Ikang Fauzi dan Marissa Haq,” ujar Doel mengenang. Tapi, film Islami adalah film yang hanya memakai tata cara Islam saja, bernuasa islam saja.

Film Islami banyak berkembang, Doel menyayangkan perkembangan film Islami itu masih belum total. Doel mencoba mengkoreksi beberapa film yang menurutnya film yang masih memenuhi standar film Islami. Seperti halnya Ayat-Ayat Cinta. “Aduh, itu filmnya sudah bagus. Tapi, sayangnya masih ada beberapa adegan yang  tidak sesuai dengan film Islam.” Adengan yang tidak sesuai menurut Doel itu yaitu adanya adengan ranjang dan adengan membuka cadar dari pemainnya.

“ Film ayat-ayat cinta bagus, mengangakat cerita tentang poligami. Namun, setelah saya coba koreksi, loh kok ini masih ada adengan gini, itu yang kurang menurut saya. Film itu film Islami dan motivasi yang memberikan cerita tentang hakikat manusia, dakwah, dan bagaimana pernikahan yang baik. Kurangnya adalah ketika adanya adengan cadar dibuka dan beberapa adegan ranjang.”

Di samping itu, Doel juga menjelaskan bahwa ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam membuat film Islam. Kriteria film islam itu, pertama yang membuat orang Islam,karena punya visi dan misi yaitu dakwah. Kedua, film islam itu harus memiliki nilai-nilai Islam, dan yang ketiga, harus adanya aturan-aturan Islam, inilah yang menjadi hal penting dalam membuat film Islam, kata Doel sembari tersenyum.

Film Islam di Indonesia memang sulit dijual, namun ketika film yang esek-esek akan banyak yang minat. Membuat film mudah, tapi membuat film yang laku dijual dan bagus itu sulit, ungkap Doel. Doel mengenang di mana beberapa tahun silam film Islamnya tidak laku di pasaran. “Saya cukup banyak buat skenario islam, tapi di sini (Indonesia-red,) tidak laku. Malah yang beli waktu itu Malaysia.”

Menelik perkembangan film di Indonesia dari waktu ke waktu, baik Esa dan Doel kembali satu pendapat tentang fungsi film. Film berfungsi sebagai pendidikan, informasi dan juga hiburan, kata Doel, tapi untuk zaman sekarang film lebih berfungsi sebagai hiburan.

Ketika ditanya bagaimana film yang menarik dan keren, Esa menjawab film yang keren menurut orang film itu adalah film-film yang tidak laku di pasaran. Tapi, jika dipandang secara umum, “film yang menarik adalah film yang bisa membuat penonton ikut terbawa dalam film itu sendiri,” ungkapnya.

Doel pun mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berkembang, acuannya pasti ke negara barat, apalagi berbicara film. Film barat masih dominan di Indonesia harus ada lembaga sensor yang membatasi,” selai mengeksplor kebudayaan Indonesia, perlu juga membatasi film yang masuk. Film Barat itu sudah mendunia, kalau film Indonesia, baru me-Indonesia, maka kultur dan sistemnya harus diubah dan diperbaharui dalam produksi film,” pungkas Doel.

Share:

Pacu Jawi Di Ranah Minang


Pacu Jawi merupakan alek atau pesta masyarakat Minangkabau,Sumatera Barat yang sudah ada secara turun-temurun. Saat ini, pacu Jawi banyak digelar untuk memperingati hari-hari tertentu, seperti memperingatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70 pada 17 Agustus 2015, di daerah Taram, Kabupaten Lima Puluh Kota, Payakumbuh, Sumatera Barat. Masyarakat Minang sampai saat  ini masih melestarikan adu sapi tersebut sebagai sarana hiburan serta mempertahankan alek daerah. Umumnya, pacu Jawi diadakan di sawah yang sudah dipanen atau gagal panen, kemudian setiap Jawi akan digiring bersama pemiliknya (kuncen) untuk berpacu dalam area lomba yang ditonton oleh masyarakat setempat bersama sanak dan famili untuk memberikan dukungan.



Seekor  Jawi  mengamuk ketika digiring menuju area perlombaan.

Digiring bersama kuncennya, Jawi kembali memasuki area perlombaan
Seorang kuncen terjatuh dari Jawi yang digiringnya saat berada di area perlombaan.

Dua orang kuncen sedang mengiring Jawinya untuk masuk dalam area perlombaan.







   



   
   



Share:

Jumat, 29 April 2016

Ke mana Ruang Bebas Untuk Berekspresi ?

Rabu, 20 April 2016
Wanggi Hoed dalam Aksi Kamisan di depan Gedung Sate

Jadwal tampilnya kala itu masih terlalu pagi, sedangkan ia sabar menunggu untuk dipanggil oleh panitia. Ia sabar dan bahkan tersenyum, kala itu ia sedang sibuk menikmati kopi hitamnya dan beberapa camilan khususnya, rokok. Ia adalah Wanggi Hoed, pria yang selalu dikenal dengan pantomin di Kota Bandung. Saya menemuinya di sela-sela waktu kosongnya. Ia menyambut dengan ramah, saya dan Wanggi terlibat obrolan kecil ke sana dan ke mari, hingga akhirnya saya bertanya," A Wanggi kemarin kenapa bisa ke kantor polisi?" tanya saya yang langsung disambut jawaban kritis olehnya.

Saya membenarkan posisi duduk, dan segera memfokuskan diri, tahu bahwa itu adalah obrolan yang asik dan serius. "Sekarang, kebebasan itu mahal. Mau ini dan itu harus lapor dulu, padahal saya hanya menyampaikan pendapat lewat pantomin dan aksi saya, malah dibawa gitu, memang saya apa? Itu yang selalu saya sayangkan, kebebasan yang dibungkam," ujarnya dengan nada yang sedikit meninggi.

Wanggi terus melanjutkan, ia memandang ke beberapa titik dalam ruangan di salah satu acara kampus UIN SGD Bandung, yaitu acara Lauching website LPM Suaka. Saya masih menyimak dan sedikit berkomentar, saya mengatakan bahwa kebebasan itu ternyata tidak dipertanyakan oleh pers saja, namun juga oleh para seniman dan mereka yang ingin beraspirasi. Lalu, di mana sesungguhnya rua kebebasan itu? Wanggi menjawab kembali, katanya, saya sendiri kadang heran, kita hanya meminta sedikit ruang untuk menyalurkan pendapat, tapi tetap dibatasi.

Adapun penangkapan Wanggi yang terjadi beberapa waktu lalu, ia mengatakan itu hanya kesalahpahaman maksud dari aparat, mereka mengira Wanggi melakukan aksi teatrikalnya untuk mempengaruhi sesuatu. Kejadian itu terjadi saat Wanggi mengisi acara perayaan ulangtahun KAA. "Saya udah tampil di sana, habis itu tiba-tiba di bawa, kan saya kaget ada apa ini," kata Wanggi diselingi tawa.

Pembicaraan saya dan Wanggi, membuat saya ikut berpikir, katakanlah saya berada di pihak media kampus, berpikir akan kebebasan pers, sementara Wanggi berada di pihak seniman yang ingin selalu menyampaikan kebebasan ia berekspresi dalam segala hal. Kadang saya mengamini ucapan Wanggi, bahwa segala aksi kami dibungkam. Saya dan rekan media kampus lainnya memang masih sangat muda dalam berbicara kebebasan, tapi toh kami memberikan hal yang fakta, kenapa kami masih dibungkam? Lalu Wanggi, salah satu seniman yang masih bertahan, kenapa harus dibungkam dalam menyampaikan pemikiran lewat tarian yang ia ciptakan sendiri?

Di mana kebebasan? Apakah terlalu sempit ruang bebas di Indonesia ini, sampai-sampai saya, Wanggi dan segelintir lainnya bertanya. Jika ada yang bertanya, kebebasan yang seperti apa? Kebebasan yang beradab dan bijak, yang memberikan ruang bagi manusia-manusia yang masih berpikir sehat untuk saling berpendapat, tanpa ada embel-embel kekerasan dan intimidasi.
Share:

Mengenalkan Kembali Bahasa Sunda Lewat Teater

Penampilan Teater Kujang Siliwangi Kabupaten Bandung
Festival drama kembali digelar di Gedung Rumentang Siang yang dimulai dari 18 April sampai 8 Mei 2016 mendatang. Dalam penampilan festival drama yang ke-17 ini, lebih diperlihatkan dalam teater yang menggunakan Bahasa Sunda yang diikuti oleh 64 peserta yang berasal dari berbagai daerah.

Setiap  harinya pementasan teater diadakan secara berkelompok,  menampilkan tiga sampai empat kelompok teater dalam durasi waktu satu jam sampai satu setengah jam. Khusus pada festival kali ini, Ketua Pelaksana Kegiatan Andri mengakui mengambil tema khusus yaitu Festival Drama Basa Sunda, yang mana setiap kelompok yang akan tampil harus menggunakan bahasa Sunda.

“Untuk acara kali ini kita lebih ingin memperkenalkan kembali bahasa Sunda, mengembalikan eksistensi bahasa Sunda pada generasi muda. Peserta yang daftar awalnya 67 orang, namun karena beberapa alasan akhirnya tinggal 64 orang,” ujar Andri saat ditemui

Andri  menjelaskan, untuk festival sendiri biasa dilakukan setahun sekali agar teater bisa terus dimainkan oleh masyarakat. Tak hanya itu, dengan meminta para pemain memainkan teaternya menggunakan bahasa Sunda ada tujuan yang ingin disampaikan oleh Andri dan panitia lainnya, yaitu untuk menjaga keberadaan bahasa Sunda itu sendiri baik di kalangan masyarakat Sunda sendiri, ataupun di masyarakat umumnya.

“Bahasa Sunda kalau dibilang punah kayanya belum, hanya mengikuti perkembangan saja. Terutama Bandung, saat ini kan sudah menjadi kota Metropolitan, ya mau tidak mau harus mengikuti adanya perkembangan, termasuk dengan bahasa Sunda yang sudah bercampur dengan Indonesia kini, karena di Bandung juga sudah didominasi dengan pendatang,” jelas Andri.

Sutradara teater Kujang Siliwangi Kabupaten Bandung Sani mengapresiasi dengan diadakannya teater berbahasa Sunda tersebut. Menurut Sani dengan mempertahankan bahasa Sunda khusus di wilayah Bandung akan menjadi lebih baik dan membuat orang penasaran akan cerita yang ditampilkan.

Sani yang menyutradarai teater berjudul “Nu Garering” mengaku tidak begitu kesulitan dalam membantu para tokoh dalam memainkan naskah berbahasa Sunda,”paling bagian logatnya atau aksennya, kita belajar bersama lagi,” ujar mahasiswi di Institut Seni Budaya Indonesia tersebut.

Dalam cerita yang diarahkan oleh Sani tersebut, ia menceritakan bagaimana sesudahnya orang-orang yang sakit tersebut. Kata Nu Garering bermakna yang sakit, di sini bukan memperlihatkan orang yang sakit sesungguhnya, tapi orang-orang yang bertingkah layaknya orang sakit, seperti Pedagang Kaki Lima yang masih saja nekat berjualan meski dilarang, Kenyamanan fasilitas yang tidak memadai untuk masyarakat, namun disediakan.

Baik Sani ataupun Andri berharap ke depannya lewat teater bahasa Sunda bisa lebih dijaga dan dilestarikan dalam pertunjukan. Tidak hanya teater, tapi juga festival lainnya. “ Kalau bukan kita yang memulai siapa lagi, bahasa Sunda itu harus dilestarikan, saya dan teman-teman punya tempatnya yaitu lewat teater, di mana setiap orang bebas untuk berekspresi di sini, tapi menggunakan bahasa Sunda, sekarang tidak semua orang yang tahu artinya bahasa Sunda yang dulu-dulu,salah satunya dalam naskah kita pakai bahasa Sunda yang lama,” pungkas Andri ketika dijumpai Jurnalpos.


Share:

Kamis, 28 April 2016

Hajat Bumi Kampung Nyenang

Masyarakat kampung Nyenang, Desa Nyenang, Kecamatan Cipeunday
Alunan musik bertalu-talu menyambut kedatangan para tamu, suara pembawa acara terdengar nyaring dengan bahasa Sunda tulennya. Satu per satu masyarakat di Kampung Nyenang mulai memasuki area Padepokan Buana Dangiang Salaka Domas yang terletak di tengah Kampung Nyenang, Desa Nyenang, Kecamatan Cipeunday, Cikalong Wetan di siang Minggu (17/4) itu. Masyarakat semakin berbondong memasuki Padepokan tatkala tamu undangan, Ibu Bupati Kabupaten Bandung, Anggota DPR RI Komisi X, Camat Cipeunday, dan lainnya yang hadir untuk membuka Hajat bumi di tahun 2016.

Hajat bumi sebuah acara yang rutin dilakukan oleh masyarakat Nyenang sebagai wujud rasa syukur atas hasil alam yang dipanen. Tak hanya itu, hajat bumi sebagai bentuk memperlihatkan bahwa Kampung Nyenang masih mempertahankan kebudayaan dan kesenian yang ada. Salah satu tokoh di Kampung Nyenang, Tatang bercerita, Kampung Nyenang merupakan keturunan dari Prabu Siliwangi yang mana istri dari Prabu, Nyi Mas Kuba Karancang melarikan diri ke Kampung Nyenang dikarenakan permasalahan internal keluarga.

Tatang memaparkan, untuk hajat bumi sendiri telah dilakukan secara turun temurun. Tapi dulu hajat bumi dilakukan hanya setiap rumah, berbeda dengan saat ini yang dilakukan secara serentak dalam satu tempat. “ Saya menyatukan untuk menggelar acara hajat bumi,kalau dulunya hanya tiap rumah saja, sekarang semuanya digabungkan sebagai rasa syukur atas hasil alam yang didapatkan. Kalau diartikan, bumi itu kan rumah, hajat itu bentuk dari rasa syukur masyarakatnya, maka diadakanlah kegiatan seperti ini,” tutur Tatang saat ditemui di rumahnya, Sabtu (16/4) lalu.

Tak hanya mempertahankan tradisi temurun, Kampung Nyenang juga memperlihatkan potensi yang dimiliki. Mulai dari mempertahankan kesenian tradisional hingga kebudayaan. Menurut Tatang itulah hal yang selalu dijaga oleh masyarakat sekitar tanpa menghalangi masuknya modernitas. Banyaknya macam kesenian yang masih dipertahankan seperti Debus, Beluk, Pencak Silat dan juga situs-situs sejarah, seperti makam Nyi Mas Kuba Karancang, batu pusaka, serta penemuan benda-benda sejarah dari masa Megalitikum ataupun Pithecantropus.

Salah satu masyarakat yang cukup mengenal Kampung Nyenang, Bojes sapaan akrab laki-laki yang saat itu menghadiri hajat bumi menjelaskan ia dan beberapa temannya terus mengali beberapa peninggalan sejarah yang ada di tanah Sunda itu. Beberapa penemuan pun didapatkan oleh Bojes seperti bekas telapak tangan manusia, dan beberapa situs bersejarah yang terus diteliti.
“Dulunya masih belum ada yang tahu kalau Kampung Nyenang merupakan keturunan Prabu Siliwangi, ada yang percaya atau tidak, tapi menurut sejarah itu ada. Dan saya terus melakukan penelitian terhadap Kampung ini karena banyak menyimpan sejarah dan kebudayaan yang memang harus dijaga dan dilestarikan,” ujar Bojes saat menonton acara.

Sama halnya dengan Bojes, Tatang mengakui Kampung Nyenang menyimpang banyak kesenian dan kebudayaan yang terus diajarkan kepada generasi muda. Hal tersebut dilakukan langsung oleh Tatang yang berprofesi guru. Tatang yang memiliki bakat seni pun membuka sebuah padepokan yang diperuntukan oleh masyarakat mulai dari berlatih kesenian, berlatih pencak silat, dan lainnya yang dilakukan langsung oleh Tatang kepada masyarakat sekitar.

Satu per satu pertunjukan diperlihatkan oleh masyarakat Kampung Nyenang, mulai dari pembersihan batu pusaka, penyendiaan tumpeng oleh semua masyarakat yang nantinya dimakan bersama, penampilan debus, pencak silat dan lainnya yang kemudian membuat masyarakat terhibur dan bangga atas kesenian yang mereka miliki. Selaku tokoh adat, Tatang pun terus meminta masyarakat untuk melestarikan apa yang dimiliki oleh Kampung Nyenang.

“Di sini kebudayaan dan kesenian sudah dipertahankan secara turun temurun, tinggal bagaimana kita menjaga dan melestarikan saja. Saya salah satu orang yang ingin mempertahankan, meskipun di sini Kampung, tapi di sini banyak sarjana. Mayoritas masyarakat petani di sini, maka dari itu lewat hajat bumi masyarakat mengucap syukur atas hasil yang didapat,” jelas Tatang.

Sementara itu, Ketua Pelaksana Acara Toni Permana kembali menegaskan acara hajat bumi tak lain hanya wujud rasa syukur dari masyarakat Kampung Nyenang. Adapun acara diisi oleh beberapa kesenian dan kebudayaan yang dihadiri oleh tamu undangan. Esensi yang diambil bagaimana masyarakat untuk bisa selalu mensyukuri nikmat yang diberikan. “ Poinnya bagi masyarakat bagaimana untuk terus bersyukur kepada Allah, dan untuk terus menjaga kesenian dan kebudayaan,” kata Toni.

Acara terus berlanjut meriah, meski terik berganti menjadi mendung. Masyarakat Kampung Nyenang begitu antusias dengan digelarnya hajat bumi. Masing-masing masyarakat membawa apapun hasil bumi mereka, mulai dari sayur-mayur, buah-buahan, dan lainnya yang kemudian dihidangkan untuk disantap bersama. Hajat bumi semakin meriah, ketika sebagian masyarakat ikut memberi saweran saat Debus bermain. Tawa dan Canda menjadi saksi bahwa masyarakat Nyenang menjaga dan menikmati warisan leluhurnya.
Share:

Categories

Artikel (5) Berita (6) Feature (5) Foto (5) Video (5)

Berita

Feature


Artikel

Sastra

Tulisan berupa Cerpen dan Puisi