Berbicara, Menulis, Mengkritisi

Selasa, 03 Mei 2016

Menelik Kebijakan Untuk Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung

Demo PKL di Kota Bandung
Persoalan  Pedagang Kaki Lima atau PKL di Kota Bandung belum kunjung tuntas,beberapa waktu lalu PKL yang berlokasi di Jalan Purnawarman Kota Bandung kembali digusur oleh Satpol PP beberapa waktu lalu. Sebelumnya, Pemerintah Kota Bandung pun melakukan beberapa tindakan agar para PKL bisa ditertibkan salah satunya dengan membentuk zona nyaman dan memberlakukan denda bagi PKL dan pembeli.

Menurut hasil survei pada tahun 2004, konsentrasi PKL terbesar terdapat di dua Kecamatan Kota Bandung, yaitu Kecamatan Bandung Wetan dan Regol, dengan jumlah dari masing-masing Kecamatan 6.000 PKL. Dari hasil penelusuran di mesin pencari, data PKL tahun 2004 didapatkan sebagai berikut Kecamatan Andir 2.912 PKL, Kecamatan Kiara Condong 2.500 PKL, Kecamatan Lengkong 930 PKL, Kecamatan Cicendo 874 PKL, Kecamatan Cibeunying Kidul 863 PKL, Kecamatan Coblong 800 PKL, Kecamatan Astana Anyar 500 PKL, Kecamatan Sukajadi 498 PKL, Kecamatan Bojongloa Kaler 485 PKL.

Pada keadaanya, PKL merupakan salah satu cara masyarakat untuk menyambung hidup atau mencari nafkah. Namun PKL justru membentuk keresahan publik, baik dari pihak masyarakat atau pemerintah dikarenakan para PKL menggunakan trotoar untuk berdagang, yang membuat sarana dan prasana publik tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya.

Dilihat dari sejarahnya, PKL diistilahkan menggunakan pedagang kaki lima karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga kaki roda. Istilah tersebut dinilai mengada-ada dan tidak sesuai dengan sejarahnya. Pendapat lainnya, pedagang bergerobak yang mangkal secara statis di trotoar adalah fenomena yang cukup baru sekitar tahun 1980-an di Indonesia, yang didominasi oleh pedagang pikulan (penjual cendol, pedagang kerak telor) dan gelaran (seperti tukang obat jalanan).

PKL juga telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar luas untuk pejalan kaki adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Sekian puluh tahun setelah itu, Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima (Sumber: Wikipedia Pedagang Kaki Lima).

Keberadaan PKL tak usah diragukan lagi, karena memang telah menjamur sejak masa penjajahan, meskipun beraneka macam tafsiran untuk para pelaku. PKL merupakan salah satu persoalan yang menjadi tugas yang harus diselesaikan oleh Pemerintah, seperti Kota Bandung ataupun Solo, misalnya. Kota Solo bisa dikatakan berhasil untuk mengurangi PKL, karena melibatkan langsung mereka dalam proses penataan dan relokasi yang relative berhasil karena melibatkan PKL di dalam prosesnya.

Sementara Kota Bandung, masih belum berhasil mengurangi jumlah PKL, justru meningkat, karena pendekatan yang digunakan oleh Pemerintah Kota cenderung bersifat represif (melalui penggusuran dan relokasi). Lalu, kebijakan seperti apakah yang sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah Kota?

Adanya PKL bagi sebagian kalangan memang mengganggu karena, mengurangi penggunaan fasilitas public, seperti trotoar. Namun PKL sebenarnya memiliki potensi sosial ekonomi yang bisa dikembangkan. PKL juga terbentuk dikarenakan adanya usaha formal yang berkembang, kadang PKL cenderung tertuju pada pengembangan pasar modern ketimbang pasar tradisional dan perdagangan jalanan.

Menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Bandung, berdasarkan data pencarian tim Litbang, pada tahun 2012, Bappeda mencatat PKL di Kota Bandung mengalami peningkatan, tahun 2012 terdapat 20.326 PKL, tahun 2013 20.326 PKL, tahun 2015 22.359 PKL, dan data menyatakan jumlah PKL melebihi  jumlah pedagang aktif sebanyak 19.138 pedagang.

Meningkatnya jumlah PKL juga diperlihatkan di tahun 2016, meski belum menemui jumlah angkanya, namun itu terlihat dari tindakan Satpol PP yang terus menertibkan para PKL di beberapa titik. Di Kota Bandung, kawasan yang dikenal dengan tujuh titik dan harus bebas dari PKL yaitu kawasan Pasar Baru, Jalan Dalem Kaum, Jalan Asia Afrika, Jalan Otto Iskandar, Jalan Dewi Sartika, dan Kawasan Alun-alun Kota. Penertiban dilakukan dengan penggusuran, pengambilan barang dagangan, dan denda oleh PKL. Meskipun hal tersebut telah dilakukan, tapi masih saja ad acara PKL untuk menemui kawasan baru untuk berdagang.

Di sini, harus ada langkah yang bijak dan cerdas antara PKL dan pemerintah yang bisa diseleraskan dan tidak menimbulkan kesan kekerasan di antara dua belah pihak. Persoalan PKL ini sudah sejak lama ada, apalagi di Kota Bandung, dan bahkan PKL ini sudah diatur dalam Peraturan Daerah tahun 2005 mengenai K3 pasal 49 ayat 1 nomor 11 tahun 2005 yang berbunyi

“Bahwa setiap orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan berupa berusaha atau berdagang di trotoar, badan jalan, taman, jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan peruntukkannya tanpa izin dari Walikota dikenakan biaya paksa penegakan hukum sebesar Rp1000.000 atau snksi administrative berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk,”

Jika berbicara solusi, bukan berarti Pemerintah Kota Bandung tidak punya acara untuk mengurangi PKL. Beberapa cara dilakukan oleh Pemkot, seperti pengambilan gerobak dengan paksa oleh Satpol PP yang bertujuan sebagai shock terapi bagi PKL. Tahun 2010, Satpol PP berhasil menertibkan 322 PKL di kawasan tujuh titik, dan PKL pada tahun 2009 ke 2010 mengalami penurunan akibat adanya penertiban PKL.  Adanya penertiban PKL ini membuat Pemkot mengeluarkan dana sebanyak 2,25 miliar, lalu apakah semuanya sudah efektif dalam menertibkan Kota Bandung dari PKL yang terus bertambah?

Saat ini sangat dibutuhkan solusi yang konkrit menertibkan para pedagang liar, bukan menghapuskan. Karena PKL pun terbentuk dari adanya pedagang pasar atau formal yang kemudian membantu mereka memasarkan dagangannya kepada pihak lain dengan cara yang berbeda. Pemerintah harus memiliki cara bagaimana penertiban PKL berjalan dengan baik namun tegas, dan PKL pun tidak meningkat setiap tahunnya.

Dari pemaparan di atas, sebaiknya Kota Bandung mengikuti pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah di Kota Solo dengan mengikutsertakan PKL dalam penertiban. Tidak dipungkiri juga bahwa cara ini sulit untuk dilakukan, karena setiap Pemerintah dan Masyarakatnya memiliki karakter yang berbeda. Tapi tak ada salahnya, jika mencoba mendudukan dua pihak yang saling berbeda untuk menyamakan keinginan meski berbeda cara. Pemerintah berhak memberikan lahan yang layak untuk PKL berjualan, dan PKL harus mampu mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Categories

Artikel (5) Berita (6) Feature (5) Foto (5) Video (5)

Berita

Feature


Artikel

Sastra

Tulisan berupa Cerpen dan Puisi