Berbicara, Menulis, Mengkritisi

Berita

Blog ini berisi kumpulan informasi berupa berita (straight news), feature, artikel, foto,sastra

Feature

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature,foto, sastra

Artikel

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature, artikel,foto, sastra

Foto

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature,artikel, foto, sastra

Sastra

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature,artikel,foto, sastra

Sabtu, 30 April 2016

Film Indonesia Masih di Zona Nyaman


Film Indonesia
Tepat pada 30 Maret lalu, hari film memasuki hari jadi yang ke 65 tahun. Berdasarkan informasi di web google, hari jadi film ditetapkan pada tanggal 30 Maret 1950 dengan lahirnya film Darah dan Doa yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Beranjak dari sejarah itu, hari perfilman Indonesia selalu diperingati pada tanggal 30 Maret.

Lalu, bagaimana kini perkembangan film Indonesia setelah berusia lebih dari setengah abad? Pada Senin (30/3) lalu,  Agus Hakim atau yang akrab disapa dengan nama bang Doel ikut berkomentar Laki-laki berkulit sawo matang ini pun memulai perbincangan dengan menjawab pertanyaan tersebut. “Perkembangan film di Indonesia semakin mencari keuntungan (profit), bukan lagi mengedepankan tujuan,” ujarnya saat ditemui di kantor dosen ISBI pekan lalu.

Film Indonesia, kata Doel, harus mampu mempertahankan kultur (budaya) yang ada, artinya kembali lagi ke kultur budaya Indonesia masing-masing. Perkembangan film di Indonesia dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, yaitu kapitalisme dan sekularisme yang menuntut perkembangan jalannya perfiman Indonesia untuk mencari keuntungan.

“Sesungguhnya untuk film, Indonesia itu banyak yang bisa dieksplor lagi. Jangan terlalu banyak mencontoh. Pertahankan saja kultur budaya kita sendiri,” ujarnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Esa, yang juga merupakan dosen jurusan film di ISBI. Esa mengatakan Indonesia dari segi konten sudah menang, karena Indonesia memiliki tempat yang bagus.

“Film di Indonesia cenderung mencari keuntungan karena bekerja sama dengan produser Hollywood,” ujar pria berkacamata tersebut. Tapi, lanjut Esa, film Indonesia masih tertinggal dari segi teknologi dibandingkan Amerika dan Jepang. Indonesia masih bersifat statis dari segi teknologi, “Amerika dan Jepang sudah jauh ke mana-mana dengan teknologinya, Indonesia masih di sini-sini saja,” ujarnya saat ditemui di kantin ISBI pada Senin (6/4) lalu.

Esa mengatakan, film itu sendiri berkembang di Indonesia pada tahun 1930-an yang mana film Indonesia tidak bisa terlepas dari kota Bandung. Pasalnya, film pertama di Indonesia yaitu Luntung Kasarung, yang mengambil tempat syuting di Bandung. Meskipun dibuat dalam versi Cina dan Belanda, kata Esa, tapi Luntung Kasarung merupakan cikal bakal dari perfilman Indonesia. “Dari sana film Indonesia mulai berkembang,meskipun yang buat orang luar negeri, tapi mengangkat cerita kearifan lokal di Indonesia,” cerita Esa.

Pasca kemerdekaan pun film-film Indonesia semakin bermunculan, lanjut Esa bercerita. Film-film yang berkembang seperti garapan dari Arifin C. Nur, Teguh Karya, dan Misbah. Menurut Esa, perkembangan film baik di Indonesia atau pun luar negeri semuanya berawal dalam bentuk propaganda. Esa mencontohkan film dokumenter dari Amerika pada tahun 1900-an.

“Kita bisa lihat bagaimana film Neil Amstrong dari Amerika. Dalam film itu diceritakan bahwa Neil satu-satunya manusia yang bisa pergi ke bulan. Masyarakat awalnya percaya, namun lama kelaman karena adanya penelitian, masyarakat jadi tahu, bahwa film itu tidak keadaan sebenarnya, itulah salah satu bentuk film yang bertujuan dan berfungsi sebagai propanganda,” ujar pria berusia 26 tahun tersebut.

Mira Lesmana, Ari Sihalsale, dan Garin Nugroho, merupakan deretan nama yang disebutkan oleh Esa sebagai produser lokal yang masih bisa mengimbangi para produser Hollywood. “Mereka adalah orang-orang yang mampu bertahan di film Indonesia.  Mereka membuat filmnya sudah lumayan, tidak hanya sekedar hiburan saja, tapi juga ada sisi sejarah dan arti lebihnya. Pokoknya ada input dan ouputlah untuk penonton,” ujar laki-laki yang juga berprofesi dosen di UNPAS dan Freelance film maker ini.

Esa, pria berkacamata dan bertopi coklat itu juga mengatakan bahwa perkembangan film di Indonesia selalu menggunakan tema tentang cinta. Di awal tahun 2000-an, kata Esa, film Indonesia muncul kembali. Film di Indonesia, 60-70 % berkonten tentang cinta, karena itu merupakan daya tarik agar film laku di pasaran. “ Film Indonesia seperti apapun akan ada cintanya, beda dengan film luar yang lebih berani mengambil jalan cerita berbeda, mungkin konten cintanya cuma 30% saja,” ungkapnya.

Di sisi lain, Doel mengatakan bahwa dalam dunia seni, tidak ada yang baru, yang ada hanya pembaharuan, termasuk film. Secara tema, menurut Doel, tema film Indonesia itu sama saja semuanya, namun hanya beda alur saja. Tapi, kenyataan saat ini yang lebih banyak berkembang adalah film esek- esek. Seperti halnya Esa, Doel juga mengatakan bahwa perfilman Indonesia sangat tertinggal jauh dari luar negeri.

“Indonesia dari teknologi sangat tertinggal. Sampai-sampai saya punya teman yang sudah ahli dalam kamera untuk buat film di luar negeri, tidak bisa menerapkan pemakaian kamera itu, karena teknologi di Indonesia yang belum memadai,” ujar dosen jurusan Film di ISBI dan Komunikasi Visual Grafis di UIN Bandung itu.

Dalam suasana yang sedikit bising di kantornya, Doel mengatakan perkembangan film di Indonesia masih diperhitungkan karena abu-abunya sistem pemerintahan. Seperti sebelumnya dijelaskan, menurut Doel, perfilman di Indonesia dipengaruhi oleh dua sistem yaitu Sekularisme dan Kapitalisme. Hal ini jelas mempengaruhi, karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah umat Islam.

Dalam membuat sebuah film, kata Doel, Ia berkonsisten untuk membuat film Islam. “Dalam sistem Sekularisme itu tidak ada pertanggungjawaban, tayangan untuk hari ini harus jadi hari ini juga,” ujar Doel. Lain halnya dengan Esa. Esa berpendapat antara dunia film dan Agama jangan dipersamakan. Esa berpendapat jangan menilai Indonesia saja dari segi umat Islam terbanyak, tapi negara-negara yang benar-benar Islam saja berkonflik antar sesama.

“Masalah agama dalam produksi film itu sendiri, itu hanya sebagai variasi saja sebenarnya. Jangan ngomong-ngomong Indonesia agama muslim terbesar, karena di Yaman, Arab Saudi, Islam lawannya juga Islam. Jadi, agama-agama, film ya film, “ ujarnya.

Meski pun perkembangan film di Indonesia masih menunjukkan di zona nyaman, baik Esa dan Doel berpendapat bahwa pada suatu hari film Indonesia akan booming. “Film Indonesia sebenarnya sudah booming, di mata Internasional, tinggal pengemasannya saja, karena film barat pun mengambil lokasi syuting di Indonesia. ” ujar Esa.

Film Indonesia yang bergenre Islam


Berbicara perkembangan film, Doel lebih tertarik memberi jawaban mengenai film Islam. Pria kelahiran Jakarta, 47 tahun silam itu sudah banyak berkegiatan dalam proses pembuatan film-film Islam. Seperti menulis dan meyutradarai skenario sinetron Semua MilikNya yang tayang di FTV-SCTV beberapa tahun yang lalu.

Doel mengatakan bahwa film Islam kini sudah bisa dibilang punah di Indonesia. Pria yang berselara humor ini pun mengatakan dalam membuat film Islam memiliki tanggungjawab yang besar, sutradaranya bukan hanya dia saja, tapi juga Allah SWT. Jika dianalogikan, kata Doel, dalam membuat film Islam itu kita diibaratkan naik sebuah perahu, kita ingin menuju Allah yang di ujung sana berupa menara. Namun, ketika menju ke menara tersebut, banyaknya hambatan di lautan.

Ombak ibaratkan sekularisme dan hiu kapitalisme, itulah yang terjadi di perfilman Indonesia.”
Namun, Doel tidak menampik jika di Indonesia film Islami masih ada. Bukan film Islam. Bedanya, film Islam adalah benar-benar murni film islam, tanpa ada kebohongan, termasuk para pemain yang beradengan suami istri,” saya pasti pakai yang suami istri benaran, seperti waktu itu saya pakai Ikang Fauzi dan Marissa Haq,” ujar Doel mengenang. Tapi, film Islami adalah film yang hanya memakai tata cara Islam saja, bernuasa islam saja.

Film Islami banyak berkembang, Doel menyayangkan perkembangan film Islami itu masih belum total. Doel mencoba mengkoreksi beberapa film yang menurutnya film yang masih memenuhi standar film Islami. Seperti halnya Ayat-Ayat Cinta. “Aduh, itu filmnya sudah bagus. Tapi, sayangnya masih ada beberapa adegan yang  tidak sesuai dengan film Islam.” Adengan yang tidak sesuai menurut Doel itu yaitu adanya adengan ranjang dan adengan membuka cadar dari pemainnya.

“ Film ayat-ayat cinta bagus, mengangakat cerita tentang poligami. Namun, setelah saya coba koreksi, loh kok ini masih ada adengan gini, itu yang kurang menurut saya. Film itu film Islami dan motivasi yang memberikan cerita tentang hakikat manusia, dakwah, dan bagaimana pernikahan yang baik. Kurangnya adalah ketika adanya adengan cadar dibuka dan beberapa adegan ranjang.”

Di samping itu, Doel juga menjelaskan bahwa ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam membuat film Islam. Kriteria film islam itu, pertama yang membuat orang Islam,karena punya visi dan misi yaitu dakwah. Kedua, film islam itu harus memiliki nilai-nilai Islam, dan yang ketiga, harus adanya aturan-aturan Islam, inilah yang menjadi hal penting dalam membuat film Islam, kata Doel sembari tersenyum.

Film Islam di Indonesia memang sulit dijual, namun ketika film yang esek-esek akan banyak yang minat. Membuat film mudah, tapi membuat film yang laku dijual dan bagus itu sulit, ungkap Doel. Doel mengenang di mana beberapa tahun silam film Islamnya tidak laku di pasaran. “Saya cukup banyak buat skenario islam, tapi di sini (Indonesia-red,) tidak laku. Malah yang beli waktu itu Malaysia.”

Menelik perkembangan film di Indonesia dari waktu ke waktu, baik Esa dan Doel kembali satu pendapat tentang fungsi film. Film berfungsi sebagai pendidikan, informasi dan juga hiburan, kata Doel, tapi untuk zaman sekarang film lebih berfungsi sebagai hiburan.

Ketika ditanya bagaimana film yang menarik dan keren, Esa menjawab film yang keren menurut orang film itu adalah film-film yang tidak laku di pasaran. Tapi, jika dipandang secara umum, “film yang menarik adalah film yang bisa membuat penonton ikut terbawa dalam film itu sendiri,” ungkapnya.

Doel pun mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berkembang, acuannya pasti ke negara barat, apalagi berbicara film. Film barat masih dominan di Indonesia harus ada lembaga sensor yang membatasi,” selai mengeksplor kebudayaan Indonesia, perlu juga membatasi film yang masuk. Film Barat itu sudah mendunia, kalau film Indonesia, baru me-Indonesia, maka kultur dan sistemnya harus diubah dan diperbaharui dalam produksi film,” pungkas Doel.

Share:

Pacu Jawi Di Ranah Minang


Pacu Jawi merupakan alek atau pesta masyarakat Minangkabau,Sumatera Barat yang sudah ada secara turun-temurun. Saat ini, pacu Jawi banyak digelar untuk memperingati hari-hari tertentu, seperti memperingatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70 pada 17 Agustus 2015, di daerah Taram, Kabupaten Lima Puluh Kota, Payakumbuh, Sumatera Barat. Masyarakat Minang sampai saat  ini masih melestarikan adu sapi tersebut sebagai sarana hiburan serta mempertahankan alek daerah. Umumnya, pacu Jawi diadakan di sawah yang sudah dipanen atau gagal panen, kemudian setiap Jawi akan digiring bersama pemiliknya (kuncen) untuk berpacu dalam area lomba yang ditonton oleh masyarakat setempat bersama sanak dan famili untuk memberikan dukungan.



Seekor  Jawi  mengamuk ketika digiring menuju area perlombaan.

Digiring bersama kuncennya, Jawi kembali memasuki area perlombaan
Seorang kuncen terjatuh dari Jawi yang digiringnya saat berada di area perlombaan.

Dua orang kuncen sedang mengiring Jawinya untuk masuk dalam area perlombaan.







   



   
   



Share:

Categories

Artikel (5) Berita (6) Feature (5) Foto (5) Video (5)

Berita

Feature


Artikel

Sastra

Tulisan berupa Cerpen dan Puisi