Berbicara, Menulis, Mengkritisi

Kamis, 19 Mei 2016

Kisah Pramoedya Ananta Toer

Pembunuhan dan penangkapan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilakukan hanya beberapa hari sejak kudeta Dewan Revolusioner yang gagal, pada 1 Oktober 1965.Seperti diketahui, dalam kudeta itu tujuh orang jenderal pucuk pemimpin Angkatan Darat (AD) tewas dibunuh. Mayat mereka ditanam dalam sumur tua di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Beberapa hari sejak kudeta, sumur tua tempat jenazah para jenderal berhasil ditemukan. Tidak jauh dari sumur tua, terdapat tempat latihan para pemuda komunis. Tentara menduga, PKI terlibat dalam kudeta. Sejak saat itu, para anggota dan simpatisan PKI ditangkap dan dibunuh. Dalam waktu tiga bulan, sejak Oktober-Desember 1965, Komisi Peneliti Korban Gestapu melaporkan korban tewas mencapai satu juta lebih.

Selain dibunuh, ribuan anggota dan simpatisan PKI juga ditangkapi oleh tentara. Mereka dijemput secara paksa dari rumahnya, diculik dalam perjalanan tanpa mengenal waktu. Mereka yang melawan akan dihabisi. Selama dalam penjara, para tahanan politik (tapol) kerap mendapatkan siksaan, mulai dari dipukul dengan alat keras, disetrum, hingga dicabuti kukunya satu persatu. Siksaan itu membuat para tapol menjadi gila.

Pada 1968, Mayor Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soekarno, berencana membuang para tahanan ke tempat pengasingan yang berada sejauh 1.400 mil dari Jakarta. Demi menjaga kewibawaan Pemerintah Orde Baru, Pancasila, dan dalih menjalankan UUD 1945, Presiden Soeharto membuang sebanyak 2.500 tapol ke tempat pengasingan di Pulau Buru, Maluku, pada tahun 1969.

Sebagian besar tapol yang dibuang pada gelombang pertama ini terdiri dari kaum intelektual, mulai dari profesor, politikus, seniman, wartawan, hingga mahasiswa. Mereka diduga terlibat langsung dalam kudeta. Gelombang tapol yang pertama dibuang ini masuk dalam Golongan A. Jumlah mereka jauh lebih sedikit dari tapol Golongan B yang dinilai tidak terlibat secara langsung, dan Golongan C yang hanya ikut-ikutan.

Salah seorang tapol Golongan A itu adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dia masuk Golongan A hanya karena bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI. Sama dengan para tapol lainnya, hingga kini belum jelas keterlibatan Pramoedya dalam pemberontakan sekelompok tentara yang menculik dan membunuh tujuh orang jenderal, pada 1 Oktober 1965 itu.

Pramoedya ditangkap tentara, pada 13 Oktober 1965. Karena bersikap keras terhadap tentara, dia dipukul dengan menggunakan popor senapan. Pukulan ini berakibat jangka panjang, dan membuatnya tuli. "Aku kehilangan pendengaran sepenuhnya. Degenerasi. Aku tuli. Aku sangat takut, dan aku mulai panik," tulis Pramoedya, dalam bukunya yang diberi judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid Satu, halaman 92.

Saat dijemput paksa tentara dari rumahnya, Pramoedya sedang bekerja menyusun Ensiklopedi Sejarah Gerakan Kemerdekaan Nasional 1900-1945. Nahas, semua buku dan dokumentasinya dibakar tentara.Pemusnahan harta karun Pramoedya di perpustakaan pribadinya itu diduga yang membuatnya marah dan dipukul dengan gagang sten, hingga tulang pelipis kirinya mengalami retak dan membuatnya tuli.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Categories

Artikel (5) Berita (6) Feature (5) Foto (5) Video (5)

Berita

Feature


Artikel

Sastra

Tulisan berupa Cerpen dan Puisi