Berbicara, Menulis, Mengkritisi

Berita

Blog ini berisi kumpulan informasi berupa berita (straight news), feature, artikel, foto,sastra

Feature

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature,foto, sastra

Artikel

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature, artikel,foto, sastra

Foto

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature,artikel, foto, sastra

Sastra

Blog ini berisi kumpulan informasi berita (straight news),feature,artikel,foto, sastra

Tampilkan postingan dengan label Video. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Video. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Mei 2016

Aksi Jurnalis

Puluhan jurnalis dari berbagai media massa cetak, elektronik, dan online yang tergabung dalam Solidaritas Wartawan Bandung menggelar aksinya dengan berjalan kaki sambil membentangkan poster bermacam-macam tulisan keprihatinan. Saat melakukan aksi tersebut, semua peralatan liputan mulai dari kamera hingga ID Card mereka lepas.

Para jurnalis menuju ke kantor Polrestabes Bandung dan melakukan aksi teatrikal di halaman kantor tersebut. Puluhan jurnalis Kota Bandung ini mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian Makasar terhadap jurnalis, saat sedang meliput demonstrasi menolak kenaikan harga BBM.

Koordinator Solidaritas Wartawan Bandung yang juga Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia atau IJTI Jawa Barat, Iman S Nurdin mengatakan, hingga saat ini aparat kepolisian dianggap belum memahami sepenuhnya kerja jurnalis yang dilindungi oleh Undang-Undang Pers.

“Kita sangat kecewa dan mengutuk keras aksi kekerasan yang terjadi di Makasar yang melibatkan empat orang korban dari teman-teman televisi, fotografer, dan teman-teman wartawan cetak. Ini menjadi pukulan keras buat kita, ternyata masih banyak aparat hukum terutama kepolisian yang masih belum memahami kinerja jurnalis sebagai pihak yang memiliki perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999,” kata Iman S Nurdin.

Iman menambahkan, aksi kekerasan terhadap jurnalis selalu terulang hingga berkali-kali. Peristiwa penganiayaan terhadap jurnalis di Makasar baru-baru ini, telah menambah daftar hitam aksi kekerasan yang dilakukan aparat. Oleh karena itu, puluhan jurnalis dari Solidaritas Wartawan Bandung menuntut agar kasus tersebut diusut tuntas.

“Kita berharap agar diusut tuntas bahkan pihak-pihak yang terkait dan pimpinan yang terlibat diusut tuntas bahkan dicopot (dari jabatannya),” lanjutnya," ujar Fery Yuniar, jurnalis televisi (Kompas TV).
Menurut Fery Yuniar, perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia hingga saat ini masih sangat kurang. Padahal menurutnya, pekerjaan seorang jurnalis sangat berisiko.

“Saya kira kalau melihat ke bagian timur Indonesia, perlindungan terhadap wartawan sangat sangat kurang. Karena ini sudah terjadi beberapa kali wartawan dipukuli, ditendang, dan segala macam. Ya saya kira ini merupakan bukti bahwa kepolisian di daerah (Indonesia) timur sana belum memahami bagaimana kinerja seorang jurnalis,” lanjutnya.

Atas peristiwa kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap jurnalis di Makasar, Solidaritas Wartawan Bandung menuntut agar Kapolda Sulawesi Selatan dan Kapolrestabes Makasar dicopot dari jabatannya.

Share:

Panduan Membuat Website Gratis

Cara mudah membuat website gratis lewat video berikut.
Share:

Dr Zakir Bangga Murtad dari Islam

Seorang pemuda asal Iran bercerita kepada Dr. Zakir Naik bahwa setelah dia mempelajari sejarah bangsa Iran, dia membaca bahwa tentara Muslim datang dan menyerang negaranya. Dia membaca bahwa tentara Muslim tersebut memaksa penduduk Iran untuk memeluk Islam. Dia tidak setuju dengan pemaksaan tersebut. Dia juga bercerita bahwa keluarganya memeluk Islam, namun karena dia tidak ingin terlahir sebagai Muslim, maka dari itu dia memutuskan untuk murtad dari Islam. Ini adalah bagian dari sesi tanya-jawab Dr. Zakir Naik di UITM Shah Alam, Malaysia.

Share:

Kasus Pemberagusan Buku

Di Yogyakarta dan Bandung, para pegiat mendesak aparat kepolisan dan militer menghentikan intimidasi dan pemberangusan terhadap buku. "Aparat juga diminta menghentikan pembiaran perbuatan organisasi massa anarkis yang mengancam kebebasan ekspresi," demikian pernyataan mereka.

Di Yogyakarta, Selasa lalu, sejumlah orang yang tergabung dalam Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY) menyatakan penerbitan buku adalah 'amanat reformasi dan konstitusi yang mesti dijaga dan dirawat, dan bukan diberangus'.Pernyataan itu disampaikan di kantor LBH Yogyakarta, bertepatan hari buku nasional, yang dihadiri pula komunitas literasi yang mendukung MLY, seperti dilaporkan wartawan di Yogyakarta, Yaya Ulya.

Segala bentuk pelarangan atas penerbitan buku dan produk-produk akal budi seyogyanya dilakukan atas seizin pengadilan sebagaimana diatur oleh hukum dan perundangan yang berlaku,” kata Adhe Ma’ruf dari MLY dalam pernyataannya.Menurutnya, pelarangan buku harus mengedepankan aspek penghormatan pada hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan.
Reaksi atas 'bentuk teror'

Protes digelar menanggapi apa yang mereka sebut sebagai 'bentuk-bentuk teror' terhadap penggiat buku di Yogyakarta, menyusul aksi penyitaan buku di pelbagai kota oleh aparat keamanan. Adhe mengungkapkan, pekan ini sudah terjadi 'tindakan teror' terhadap aktivitas literasi terhadap setidaknya dua penerbit dan satu toko buku. Mereka didatangi sejumlah orang yang diantaranya mengaku aparat kepolisian setempat.

Diungkapkan pula telah terjadi kasus-kasus penyitaan buku di Kediri (Jatim), Tegal (Jateng), pelarangan bazar buku oleh pemerintah kota Gresik, Jatim, penyitaan buku dan wajib lapor di Cirebon, Jabar, serta interogasi terhadap penjual buku di Bandung, Jabar. Garin Nugroho -sutradara film yang sekaligus pegiat literasi buku- ikut hadir dalam protes di kantor LBH dan meminta aparat menghentikan teror terhadap penggiat buku di Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya.
Aparat diminta hentikan intimidasi

Pada saat bersamaan di Bandung, para pegiat literasi, seniman, aktivis budaya, dan pelaku komunitas kreatif mendesak aparat kepolisan dan militer menghentikan intimidasi dan pemberangusan terhadap buku, diskusi buku, dan aktivitas literasi lainnya. "Ini situasi paling absurd bagi budaya demokrasi dan pendidikan rakyat," kata Ahda Imran, pegiat literasi, dalam pernyataannya, Selasa (17/05).

"Proses pembodohan sedang terjadi akibat belum sembuhnya bangsa ini dari epidemi sejarah," tambahnya.Aksi penolakan ini digelar menyusul aksi pembubaran paksa monolog Tan Malaka, penangkapan seniman pantomim, dan pembubaran sekolah Marx di ISBI, baru-baru ini.
Image copyright BBC Indonesia Image caption Di Yogyakarta, terjadi tindakan teror terhadap aktivitas literasi yaitu dialami setidaknya dua penerbit dan satu toko buku. Mereka didatangi sejumlah orang - diantaranya dari kepolisian - untuk menyita buku-buku 'kiri'.

Dalam pernyataannya, para aktivis Bandung mengatakan, pemberangusan terhadap dunia literasi telah melanggar Keputusan Mahkamah Kontitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.

Keputusan tersebut telah membatalkan UU No.4/PNPS/1963, yang selalu dijadikan dasar bagi kejaksaan dalam pemberedelan buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum.

Mereka mengatakan, kejaksaan hanya bisa menyita buku dan barang cetakan lain jika telah mendapat izin pengadilan.

"Maka, mengingat keputusan Mahkamah Keputusan tersebut, aparat kepolisian, militer, terlebih organisasi massa, tidak berhak melakukan razia dan memberangus buku," kata para aktivis dalam pernyataannya.

Alasan lainnya, lanjut mereka, Tap MPRS No. XXV Th. 1966 tentang larangan penyebaran paham komunisme, sesungguhnya telah ditinjau ulang melalui Tap MPR No.1 Tahun 2003 melalui Pasal 2 angka satu."Yang isinya mengamanatkan tetap adanya penghormatan pada prinsip-prinsip keadilan, menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asai manusia,” ujar aktivis Bandung.


Share:

Kisah Pramoedya Ananta Toer

Pembunuhan dan penangkapan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilakukan hanya beberapa hari sejak kudeta Dewan Revolusioner yang gagal, pada 1 Oktober 1965.Seperti diketahui, dalam kudeta itu tujuh orang jenderal pucuk pemimpin Angkatan Darat (AD) tewas dibunuh. Mayat mereka ditanam dalam sumur tua di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Beberapa hari sejak kudeta, sumur tua tempat jenazah para jenderal berhasil ditemukan. Tidak jauh dari sumur tua, terdapat tempat latihan para pemuda komunis. Tentara menduga, PKI terlibat dalam kudeta. Sejak saat itu, para anggota dan simpatisan PKI ditangkap dan dibunuh. Dalam waktu tiga bulan, sejak Oktober-Desember 1965, Komisi Peneliti Korban Gestapu melaporkan korban tewas mencapai satu juta lebih.

Selain dibunuh, ribuan anggota dan simpatisan PKI juga ditangkapi oleh tentara. Mereka dijemput secara paksa dari rumahnya, diculik dalam perjalanan tanpa mengenal waktu. Mereka yang melawan akan dihabisi. Selama dalam penjara, para tahanan politik (tapol) kerap mendapatkan siksaan, mulai dari dipukul dengan alat keras, disetrum, hingga dicabuti kukunya satu persatu. Siksaan itu membuat para tapol menjadi gila.

Pada 1968, Mayor Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soekarno, berencana membuang para tahanan ke tempat pengasingan yang berada sejauh 1.400 mil dari Jakarta. Demi menjaga kewibawaan Pemerintah Orde Baru, Pancasila, dan dalih menjalankan UUD 1945, Presiden Soeharto membuang sebanyak 2.500 tapol ke tempat pengasingan di Pulau Buru, Maluku, pada tahun 1969.

Sebagian besar tapol yang dibuang pada gelombang pertama ini terdiri dari kaum intelektual, mulai dari profesor, politikus, seniman, wartawan, hingga mahasiswa. Mereka diduga terlibat langsung dalam kudeta. Gelombang tapol yang pertama dibuang ini masuk dalam Golongan A. Jumlah mereka jauh lebih sedikit dari tapol Golongan B yang dinilai tidak terlibat secara langsung, dan Golongan C yang hanya ikut-ikutan.

Salah seorang tapol Golongan A itu adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dia masuk Golongan A hanya karena bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI. Sama dengan para tapol lainnya, hingga kini belum jelas keterlibatan Pramoedya dalam pemberontakan sekelompok tentara yang menculik dan membunuh tujuh orang jenderal, pada 1 Oktober 1965 itu.

Pramoedya ditangkap tentara, pada 13 Oktober 1965. Karena bersikap keras terhadap tentara, dia dipukul dengan menggunakan popor senapan. Pukulan ini berakibat jangka panjang, dan membuatnya tuli. "Aku kehilangan pendengaran sepenuhnya. Degenerasi. Aku tuli. Aku sangat takut, dan aku mulai panik," tulis Pramoedya, dalam bukunya yang diberi judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid Satu, halaman 92.

Saat dijemput paksa tentara dari rumahnya, Pramoedya sedang bekerja menyusun Ensiklopedi Sejarah Gerakan Kemerdekaan Nasional 1900-1945. Nahas, semua buku dan dokumentasinya dibakar tentara.Pemusnahan harta karun Pramoedya di perpustakaan pribadinya itu diduga yang membuatnya marah dan dipukul dengan gagang sten, hingga tulang pelipis kirinya mengalami retak dan membuatnya tuli.

Share:

Categories

Artikel (5) Berita (6) Feature (5) Foto (5) Video (5)

Berita

Feature


Artikel

Sastra

Tulisan berupa Cerpen dan Puisi